"Betulkah menggandeng nama suami di belakang nama isteri diharamkan secara mutlak?", ucap ustad Salim memulai uraiannya.
Betulkah menggandeng nama suami di belakang nama isteri diharamkan secara mutlak?
Padahal ianya adalah 'URF dalam identifikasi di negeri ini; dan betapa banyak para Masyaikh kitapun memakainya. Kita tak bisa melupakan nama-nama mulia seperti; Nyai Walidah Ahmad Dahlan, Nyai Solikhah Wahid Hasyim, Nyai Nafisah Sahal. Tentu saja; sesuatu tak serta merta jadi halal hanya karena orang besar melakukannya. Jadi mari kita telisik soal nama ini.
Dalam Islam; identifikasi terhadap seseorang luas & longgar. Bisa melalui hak Wala', mis: 'Ikrimah MAULA ibn 'Abbas; Pekerjaan –mis: al-Ghazzali (tukang tenun); dengan ciri–seperti al-A’raj (si pincang), kuniyah-mis: Abu Muhammad; dengan asal kota, Al Halabi; asal propinsi, Al Khurasani; bahkan juga dengan #Nama Ibu, Ibn Sumayyah ('Ammar ibn Yasir).
Identifikasi #nama perempuan dengan suaminya diperkenalkan Al Quran melalui wanita tak baik (Imraatu Nuh, Imraatu Luth), juga wanita yang baik (Imraatu Fir'aun). Ini melengkapi Maryam binti 'Imran yang diidentifikasi dengan #nama Ayahnya. Adakah contoh di zaman Nabi SAW penggunaan #nama suami untuk identifikasi wanita? ADA.
Al Bukhari & Muslim meriwayatkan: berkata Abu Sa'id Al Khudzri; "Telah datang Zainab ISTERI Ibnu Mas'ud kepada RasuliLlah untuk bertemu beliau, maka beliau bertanya, "Zainab siapa?" Lalu dijawablah; "Zainab ISTERI Ibnu Mas'ud." Ujar beliau, "Persilakan dia!" Memang telah nyata dalil yang melarang memanggil anak dengan mengidentifikasinya yakni menasabkan kepada selain Ayah.
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. Al-Ahzab [33] : 5)
Pemahaman terhadap ayat ini; haram memanggil Zaid IBN Muhammad, sebab Ayahnya jelas Haritsah. Maka Zaid IBN Haritsah. Para 'ulama menjelaskan; terlarangnya penisbatan ini sebab berkaitan dengan konsekuensi hukum; waris, mahram, dll. Di sisi ini; apakah penyebutan #Nama suami di belakang nama wanita seperti 'URF kita berkonsekuensi hukum seperti dimaksud? Lebih jauh; bukankah kita tidak memakai BINTI tuk menggandeng #Nama isteri dengan suaminya; sedang inilah yang bermasalah? Nah; letak kemusykilan terjadi memang di banyak negeri yang berkebiasaan menggandeng #Nama anak & ayah tanpa BIN & BINTI.
Misalnya Mesir & beberapa negeri Arab lain; #Nama Halimah binti Rasyid dalam dokumen resmipun hanya ditulis Halimah Rasyid. ika ybs menikah dengan Ibrahim; maka memakai #nama Halimah Ibrahim jadi BERMASALAH karena dikira ada BINTI di antaranya. Adapun menyebutnya Halimah Rasyid Ibrahim dimungkinkan karena bisa dimaknai Halimah BINTI Rasyid ZAUJATU Ibrahim. Maka fatwa 'Ulama di negeri-negeri itu cenderung mengharamkan #Nama 2 kata jika Nama isteri digandeng langsung Nama suami.
Apakah kebiasaaan demikian beserta konsekuensi hukumnya berlaku di negeri ini? Tidak. Kondisi & suasananya berbeda. Kita di Indonesia menambahkan #Nama suami di belakang isteri bukan dalam rangka menafikan hubungan nasab dengan ayahnya. Kita menggunakannya sekedar sebagai identifikasi; sebagaimana Nabi bertanya "Zainab yang mana?" dalam hadits di awal. Ianya bahkan bermanfaat dalam pergaulan untuk menegaskan status seorang wanita agar lebih dikenal & tidak diganggu.
Ada nan bertanya, "Bukankah menggandeng #Nama dengan suami juga menjadi kebiasaan orang kafir?" Imam Ibn Nujaim Al Hanafi dalam Al Bahrur Ra'iq menjelaskan; "Penyerupaan terhadap orang kafir tidaklah diharamkan secara mutlak. Yang diharamkan adalah menyerupai tindakan yang tercela & atau dengan maksud mengikuti mereka karena alasan yang batil.” Akhi yang 'Alim @mamoadi mengingatkan saya tentang kaidah "Al 'Adah Muhakkamah; tradisi bisa menjadi hukum."
Demikianlah; Islam tak hendak mencerabut para Muslim dari tradisinya selama tidak bertentangan dengan Nash Syar'i. Yang kami sampaikan bukan fatwa, hanya uraian kecil dalam menunjukkan bahwa kadang hukum berubah; mengingat tempat & zaman. Sebab 'illat (dasar tegaknya hukum, <~bukan hikmah: manfaat yang didapat darinya) kadang bersenyawa dengan zaman & tempat.
Mereka yang memilih kehati-hatian, insyaaLlah lebih aman & selamat; terimalah doa pemuliaan kami. Tapi tentu saja soal menghalalkan & mengharamkan jauh lebih berat tanggungjawabnya daripada sekedar beramal jika telah memiliki hujjah. Yang diperselisihkan bukan soal 'Larangan Menasabkan pada Selain Ayah'. Itu jelas haram. Yang diperselisihkan adalah: 'Apakah memakai #Nama suami di belakang Nama isteri termasuk kategori "Menasabkan"?'
Sebenarnya ada nan juga bermasalah di negeri kita; isteri memanggil suami dengan "Abi!", & sebaliknya "Ummi!" Berat ini! ;D "Abi", artinya "AyahKU!", ini nanti akan masuk juga dalam pembahasan KATEGORI, "Termasuk menasabkan diri atau tidak?" Secara bahasa jelas salah; isteri memanggil suami dengan "Abi! Ayahku!", tapi bukankah ia ditujukan tuk membahasakan anak? Tetapi sungguh memang dianjurkan memakai panggilan yang aman. Orang Arab memakai kuniyah; "Ya Aba Fulan! Ya Umma Fulan!" Orang Jawa pakai "Pak'e Fulan & Buk'e Fulan"; saya sering dipanggil "Pak'e Hilma" di keluarga mertua meski di rumah "Abah". Nah; selama ini kami pilih-pilih kondisi; Kalau sedang mengajari anak, ya ajarilah. Di luar itu, kami setia "Yayank Cinta!"
0 comments
Posting Komentar