Untuk saudaraku yang masih doyan bersilat lidah debat sana-sini tentang bagaimana mestinya muslim memposisikan diri dalam bertoleransi, berikut ini tulisan dari salah satu ulama besar Indonesia, Buya Hamka, yang ditulis ulang oleh Dr.Hadian Husaini di hidayatullah.com.
***************************************
Motto:
Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa;
Kemudian tuan bebas memberi saya nama dengan apa yang tuan sukai;
Saya adalah pemberi maaf, dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit.
Cuma rasa hati sanubari itu tidaklah dapat saya menjualnya;
Katakanlah kepadaku, demi Tuhan.
Adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?
Kemudian tuan bebas memberi saya nama dengan apa yang tuan sukai;
Saya adalah pemberi maaf, dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit.
Cuma rasa hati sanubari itu tidaklah dapat saya menjualnya;
Katakanlah kepadaku, demi Tuhan.
Adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?
Sudah agak lama dibicarakan di kalangan masyarakat tentang apa yang
dinamai Natal Bersama. Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan
Presiden Suharto sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia, selalu
menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Dan
kepada Presiden Suharto sendiri pada tanggal 21 September 1975 penulis
”dari hati ke hati” ini, yang baru 20 hari menjadi Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia telah menerangkan di hadapan kurang lebih 30 orang Utusan
Ulama yang hadir, bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas
di dalam surat Al-Mumtahinah ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh
Al-Qur’an orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama
lain. Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan mereka
asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak kita untuk keluar
dari tanah air kita sendiri.
Artinya sejak MUI berdiri dia telah menerima anjuran pemerintah
tentang kerukunan hidup beragama. Dan ini telah berjalan baik. Tetapi
belum ada patokan dan batas-batas tentang mana yang akan kita rukunkan
dan mana yang akan kita damaikan.
Maka timbullah soal Natal, lebih jelas lagi tentang ”Natal Bersama”.
Apa arti bersama?
Bolehkah orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi
kerukunan hidup beragama? Dan tentu ada orang yang ingin bertanya:
Bolehkah orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama merayakan pula hari
Raya ’Idul Fitri dan Idul ’Adha dengan ummat Islam?
Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah
memperingati dan memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut
kepercayaan Kristen, Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah
SATU dari TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama
merayakannya, bukanlah berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah
Tuhan, atau satu dalam yang bertiga, atau tiga oknum dalam satu.
Ketika orang merayakan Natal, dilakukanlah beberapa upacara (rituil)
yang di dalam bahasa Islam disebut ibadat. Membakar lilin, memakan roti
yang dianggap bahwa ketika itu roti tersebut adalah daging Yesus, dan
meminum air yang dianggap sebagai darah Yesus.
Ketika terjadi Munas MUI di Cipayung 1979 utusan MUI dari Ujung
Pandang membawa berita bahwa kaum Kristen di sana menjelaskan kepada
pengikut-pengikutnya bahwa Peringatan Natal adalah ibadat bagi mereka.
Sudah lama hal ini diperbincangkan dalam kalangan kaum Muslimin. Tidak
ada orang yang menyadari kehidupan beragama yang tidak meragukan
halalnya orang Islam turut bersama orang Kristen menghadiri hari Natal,
meskipun tidak ada pula orang Islam yang menolak anjuran kerukunan hidup
beragama, dan orang Kristen pun belum pernah pergi bersama ber-Hari
Raya ’Idul Fitri dan ’Idul Adha ke tanah lapang atau mesjid. Dengan
demikian bukanlah berarti bahwa mereka (orang Kristen) tidak hidup rukun
dengan orang Islam.
Sebab itu dapatlah kita fahami bahwa Menteri-menteri Agama sejak
Indonesia Merdeka menyuruhkan saja pegawai-pegawai Tinggi yang beragama
Kristen menghadiri secara resmi hari-hari peribadatan Kristen, Natalnya,
Paskahnya dan lain-lain, pegawai tinggi Katolik untuk menghadiri hari
Ibadat Katolik, dan pegawai tinggi Protestant untuk menghadiri hari
ibadat Protestant, dan demikian pula dengan pegawai tinggi dari kalangan
yang beragama Budha. Dan dengan demikian sekali-kali tidak berkurang
rukunnya kita hidup beragama.
Sejak Juli 1975 MUI berdiri dianjurkan kerukunan hidup beragama.
Pihak Islam menerima anjuran itu dengan baik. Tetapi terus terang kita
katakan bahwa bagaimana batas-batas kerukunan itu, belum lagi kita
perkatakan secara konkrit!
Maka terjadilah di Jawa Timur, adanya larangan dari Kanwil P dan K
menyiarkan satu karangan yang menerangkan ’aqidah orang Islam, bahwa
Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Arti ayat Lam yalid
walam yuulad ini dilarang beredar, dengan alasan bahwa karangan ini
berisi satu ayat yang bertentangan dengan kerukunan hidup beragama.
Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama
saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga
dari Majelis Da’wah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam
pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut
dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui
aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih ’alaihissalam sebagai Tuhan.
Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa hadir di
sana ialah menyatakan persetujuan pada ’amalan iu, apatah lagi jika
turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti
yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum
menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat:
(Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam
golongan mereka) (Al-Maidah: 51).
Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram?
Maka bertindaklah ”Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah
seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu dan
dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram!”
Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.
Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini
didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa
berdosa kalau hal ini didiamkan saja. Yth Menteri Agama mengetahui hal
ini. Beliau meminta supaya hasil fatwa dikirim kepada beliau untuk
menjadi pegangan. Tetapi karena memandang fatwa ini adalah menyinggung
tanggung jawab Majelis Ulama seluruhnya, keputusan tersebut dikirim
kepada cabang-cabang tingkat I (Propinsi) seluruh Indonesia.
Di sinilah timbul kesalahpahaman diantara Pimpinan Majelis Ulama
dengan Yth Menteri Agama. Mengapa fatwa itu telah tersiar luas, padahal
mestinya disampaikan kepada Menteri Agama saja.
Surat-surat kabar harian Jakarta banyak minta agar merekapun diberi
peluang turut menyiarkan Keputusan itu seluas-luasnya, karena ini adalah
kepentingan ummat seumumnya. MUI belum memberikan. Tetapi ada surat
kabar mendapat naskah keputusan itu, lalu menyiarkannya. Tetapi besoknya
setelah keputusan itu termuat, datanglah berita dari kami, yaitu saya
sendri dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji (H. Burhani Cokrohandoko)
dalam kedudukannya sebagai sekretaris Majelis Ulama menarik kembali
fatwa itu dari peredaran, sekali lagi dari peredaran.
Di sinilah terjadi suatu reaksi yang hebat. Bertubi-tubi datang
pertanyaan kepada diri saya sendiri, sebagai Ketua Umum dari Majelis
Ulama Indonesia, mengapa fatwa itu dicabut? Apakah saya begitu lemah,
kehilangan harga pribadi, ataukah saya tidak setuju dengan keputusan
itu? Apakah bagi saya halal merayakan Hari Natal atau hari-hari besar
agama-agama lain, jika dirayakan bersama oleh umat Islam?
Di sini saya menjelaskan pendapat saya, bahwa fatwa Majelis Ulama itu
tidaklah hilang kebenaran dan kesah-annya, meskipun dia dicabut dari
peredaran.
Dan saya sendiri pribadi telah pernah menulis di dalam Majalah yang
saya pimpin ”Panji Masyarakat” menyatakan haram bagi orang Islam turut
merayakan Hari Natal bersama orang Kristen, lama sebelum fatwa yang
dicabut dari peredaran itu. Dan di penutup seruan itu saya ajak Kaum
Muslimin supaya bersikap tenang menghadapi soal, demi menjaga kerukunan
hidup beragama dan menjaga kemurnian aqidah!
Tiga harian memuat seruan saya itu, yaitu Berita Buana, Suara Karya dan Kompas. Kepada ketiganya saya ucapkan terimakasih.
Dengan sabar dan tenang mari kita tilik soal ini. Di dalam membentuk
suatu negara, kita selalu menuju yang lebih baik. Bertambah kita
melangkah akan kelihatan di mana kekurangan yang harus kita perbaiki.
Kita musti melihat soal dari keseluruhan. Dalam mendirikan negara ini
kita telah membuat dua gagasan yang baik dan diantara keduanya ada
perkaitan.
1. Kerukunan Hidup Beragama
Semua menyetujui gagasan ini. Pihak Islam menyetujui karena Islam
sendiri mempunyai konsep yang konkrit dalam hal ini. Tetapi bagaimana
pelaksanaannya? Apakah demi kerukunan orang Islam harus menghadiri
Hari-hari besar agama lain dan turut beribadat, yaitu ibadat, tapi
ibadat yang dikarang-karang sendiri. Orang disuruh rukun, tapi imannya
jadi goncang, sebab perbuatannya itu bertentangan dengan ajaran agamanya
sendiri. Orang yang lemah imannya takut akan menyebut apa yang terasa
dihatinya. Misalnya yang terjadi di Surabaya itu, buku yang menulis
”Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan”. Buku itu dilarang beredar!
Sebab merusak kerukunan hidup beragama.
Bagaimana kalau orang Kristen mengatakan Tuhan Yesus? Bolehkah orang
Islam menolak dan membantah itu? Itupun tentu dilarang juga, sebab
merusak kerukunan hidup beragama! Bahkan kaum Islam tadi dapat pula
dituduh tidak berpartisipasi dalam pembangunan!
2. Majelis Ulama Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia sudah 6 tahun berdiri. Menjadi hiasan bibir
di seluruh Indonesia tentang pentingnya kerjasama Umara dan ulama.
Dikatakanlah bahwa tanggung jawab ulama untuk kebahagiaan tanah air sama
dengan tanggung jawab umara. Ulama adalah ahli-ahli agama dan umara
pemegang-pemegang kekuasaan pemerintah.
Sekarang timbul fatwa ulama itu tentang boleh atau tidaknya Natal
bersama yang di dalamnya haris ikut orang-orang Islam. Karena ingat akan
tugasnya, disamping melihat kepada pemerintah, diminta atau tidak
diminta, maka samalah pendapat semua ulama itu bahwa turut bersama dalam
perayaan hari Natal itu adalah haram hukumnya atau Kaum Muslimin.
Maka keluarlah keterangan mencabut beredarnya fatwa itu.
Saya menyatakan pendirian yang tegas: ”Melarang peredaran fatwa itu
adalah hak bagi pemerintah. Sebab dia berkuasa! Namun kekuatan fatwa
tidaklah luntur, lantaran larangan beredar. Setiap orang Islam yang
memegang agamanya dengan konsekwen, asal dia tahu, dia wajib menuruti
fatwa itu. Bertemulah di sini hal yang belum kita fikirkan selama ini,
yaitu perlainan penilaian ulama dengan umara, dalam hal yang mengenai
aqidah. Umara merasa punya kekuasaan menyuruh cabut peredaran itu.
Ulama merasa dia bertanggung jawab sebagai ahli-ahli agama meneruskan isi fatwanya.
Dan ulama pun sangat sadar bahwa dia tidak mempunyai kuasa buat
menantang pencabutan peredaran itu. Sebagai warga negara dia akan patuh
kepada kekuasaan pemerintah. Tetapi kekuasaan pemerintah pun belumlah
mempunyai hak memaksa orang pergi menghadiri upacara agama lain yang
harus dikerjakan bersama. Karena ini adalah kerukunan yang dipaksakan.
Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli
1975) seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya: ”Apa sanksinya
kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari
Majelis Ulama?”
Saya jawab: ”Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita
sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa yang
kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi
juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang
menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini
hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Ta’ala
sendiri.”
Namun demikian sebagai kita uraikan di atas tadi, kita adalah menuju
yang lebih sempurna. Kita masih belum terlambat buat menyelidiki, apakah
kedudukan umara dan ulama itu masih diikat oleh rasa ukhuwah Islamiyah?
Tegak dalam hak dan kewajiban masing-masing? Atau Ulama hanya
lebai-lebai yang dipanggil datang, disuruh pergi, ditegah berhenti? Dan
kalau rapat akan ditutup dia bisa dipanggil: ”Kiyahi! Baca do’a”.
Begitu juga boleh! Mari kita cari ulama-ulama yang semacam itu: ”mudah-mudahan masih ada!”
Di permulaan karangan ini saya salinkan sebuah syair Arab yang
maksudnya begini: ”Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa di hati.
Setelah yang terasa itu saya sebut, tuan bebas memberikan beberapa
penilaian.”
Cuma satu yang saya tidak bisa, yaitu membenam saja suara hati
nurani, diam saja dalam 1000 bahasa, sehingga pendirian yang sejati
tidak dapat disebut. Ini bisa jadi penyakit! Inilah barangkali yang
disebut ungkapan ”Makan hati berulam jantung.” Hati sendiri yang
dimakan, jantung sendiri dijadikan ulam.
Rasa hati sanubari itu tidak dapat dijual dan tidak dapat dibeli. Apa
yang terasa di hati, itulah yang dikeluarkan, dengan tidak mengurangi
rasa hormat kepada barangsiapa yang patut dihormati. (HAMKA).
(dipublikasikan di Catatan Akhir Pekan (CAP) ke-222, 25 Januari 2008)
*****************************
sumber: http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/12/24/3838/bisakah-suatu-fatwa-dicabut.html
0 comments
Posting Komentar