• Beranda
  • Twitter
  • Pesbuk
  • Sosbud
  • Polhuk
  • Sastra
  • Kesehatan
  • Hiburan
  • Asal Mula
  • PKn
  • SKI
  • Biologi
  • Fisika
  • Untuk Yang Tidak Puasa, Hormat Grak!!!


    Pemerintahan Jokowi ini memang penuh kejutan dan tingkahnya terkesan ada-ada saja. Kejutan kali ini datang dari Mentri Agama, Lukman Saifuddin. Setelah keputusannya menginstruksikan seorang qori membaca quran denganlanggam Jawa, kini beliau menyerukan umat muslim yang berpuasa agar menghormati orang yang tidak berpuasa. Setidaknya begitu yang ditulis banyak media online. Walaupun pak mentri nyatakan itu adalah kesalahan pemaknaan, namun ribuan reaksi keras sudah mendahului upaya bela diri pak mentri.

    Salah satu komentar berbunyi begini, “orang lain merayakan hari raya, muslim harus menghormati; muslim berpuasa, muslim pun harus menghormati yang tidak puasa. Kok muslim terus yang disuruh hormat??” Hahahaha iya juga, pasti marah lah kalo terus disuruh hormat, kan pegel.. Saya melihat kalimat ini sebagai gambaran, bahwa baiknya hubungan antar umat beragama di Indonesia ini tidak sepenuhnya disetujui oleh nurani. Mungkin ini fitrahnya hati, jalinan ukhuwah sesama muslim tak pernah akan bisa ditandingi semangat toleransi antar umat beragama yang sehebat apapun. 

    Karenanya, negara harus membuat aturan yang adil agar antar umat beragama tidak saling mendzolimi. Demikian pula yang diatur dalam Piagam Madinah yang keluar pada masa kenabian. Diatur sedemikian rupa hak-hak umat beragama yang tidak boleh didzolimi umat agama lain. Maka disinilah perlunya berhati-hati membaca sejarah. Hak asasi manusia selama ini disebarluaskan kepada pelajar Indonesia dinyatakan sebagai sesuatu yang bermula tertulis dalam dokumen yang dinamakan Magna Charta. Dokumen kebanggaan aktivis HAM ini sebetulnya terlambat beratus tahun lamanya dari dokumen yang memuat HAM yang dibuat Nabiyalloh Muhammad s.a.w., yakni Piagam Madinah. Hanya saja karena banyak kepentingan, sejarah tentang ini sengaja tidak dicatat.

    Maka tidak heran jika hingga hari ini seruan perlindungan HAM dari pemerintah terus berorientasi ke barat. Mentri Agama pun terus menyerukan toleransi antar umat beragama, salah satunya sikap saling menghormati antar mereka. Nah, sekarang mari kita komentari ajakan menag Lukman Saifuddin kemarin itu. Pak mentri meminta agar muslim yang berpuasa menghormati orang lain yang tidak berpuasa. Bagi sebagian muslim, kalimat ini dirasa tidak adil, karena muslim selalu dituntut untuk selalu menghormati umat lain yang sedang beribadah. Instruksi itu jelas tidak dirasa adil karena beberapa hari lagi justru muslim lah yang beribadah, kenapa instruksinya tidak diberikan kepada mereka yang non-muslim???

    Jika Lukman Saifuddin mengatakan begitu sebagai ulama muslim, itu adalah seruan yang baik. Toh kalau godaan dan cobaan berupa makanan kepada muslim makin banyak, kualitas puasa orang yang mengalahkan godaan itu tentu jauh lebih utama. Celakanya, Lukman saat ini berposisi sebagai mentri agama. Artinya, dia pengatur kehidupan bernegara seluruh penganut agama, bukan hanya Islam. Kalau belakangan banyak muslim bereaksi keras, reaksi itu bukan dilandaskan rasa ingin dihormati, tapi dilandaskan pada kritikan terhadap kesalahan ucap seorang pemerintah.

    Menag serukan muslim yang berpuasa hormati yang tidak berpuasa, misal dengan membiarkan mereka yang tidak berpuasa bebas minum es cendoleo-cendolea di tempat umum saat panas menyiksa kerongkongan orang yang sedang berpuasa. Kalimat itu sebenarnya sindiran kepada yang tidak berpuasa. Sindiran sekaligus ejekan. Bagi Mentri Agama, orang yang tidak berpuasa itu tidak akan mampu menahan makan minum di tempat umum demi menghormati orang lain yang puasa. Mereka tidak akan mampu minum sembunyi-sembunyi, harus selalu di ruang terbuka. Maka kita yang berpuasa, berbaik hatilah kepada mereka, biarkan mereka makan minum dimana saja. Jangan buat hati mereka merasa bersalah karena harus bertoleransi kepada muslim yang begitu memberatkan mereka. Setidaknya ada pemaknaan seperti itu di pikiran saya saat membaca seruan mentri agama.

    Sudah ketangkap kan maksud saya? Digoda makanan seenak apapun, muslim akan tetap berpuasa. Tapi, ucapan itu salah karena itu ucapan yang menyepelekan jiwa toleran non muslim. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, seolah memberi penjelasan, bahwa non muslim tidak cukup mampu untuk bertoleransi kepada yang berpuasa. Maka biarkan kita saja sebagai muslim yang pasti selalu mampu dan mau bertoleransi kepada yang lain, non muslim tidak perlu bertoleransi kepada muslim, karena itu tidak akan mampu mereka lakukan.

    Nah, berbahaya sekali kan seruan mentri kemarin itu, seruan “agar muslim menghormati yang tidak berpuasa” itu? Maka muslim Indonesia mestinya berterima kasih kepada mentri, sudah diberitahu kalau hanya muslim yang mampu maksimal dalam bertoleransi. Sebaliknya, non muslim yang merasa bisa menghormati muslim yang berpuasa mestinya marah kepada mentri, masa mau disepelekan begitu??

    Kesimpulannya, menjadi pemerintah di negara yang melindungi segenap umat beragama itu tidak mudah. Pak Mentri yang baik, bapak mesti lebih berhati-hati. Satu kalimat saja berbahaya. Muslim yang marah kepada bapak pun mestinya disikapi dengan husnudzon. Mereka tidak keberatan kalau sekedar harus menghormati orang lain. Mereka hanya bosan pak. Bosan karena menjadi umat yang selalu dituntut oleh pemerintah untuk toleran. Tanpa disuruh pun kita sudah lakukan, pak. Tuntutan serupa kepada non muslim jarang didengar keluar dari mulut pemerintah. Keberanian itu yang mestinya ditunjukkan pemerintah. Agar adil. Bahwa mentri agama itu bukan hanya mengatur kehidupan bernegara seorang muslim, tapi juga mengatur kehidupan bernegara seorang nasrani, umat hindu, budha, dan yang lainnya. Kalau hanya senang menasihati muslim, jadilah ulama, jangan jadi mentri agama. Dinasehati yang sama saban hari oleh ulama, kami ikuti. Tapi mentri agama nasehatnya jangan melulu tertuju pada umat salah satu agama. Kerukunan tidak dapat dibentuk dengan sikap satu arah. Maaf kalau ada salah-salah. Semoga Ramadhan tahun ini berlimpah berkah..

    ------------------------
    ~ Eki P. Sidik ~
    ------------------------

    Bulan Sya'ban

    Sya‘ban adalah bulan ke-8 dalam Hijriah, terletak antara 2 bulan yang dimuliakan yakni Rajab & Ramadhan. Tentangnya RasuluLlah bersabda: 
    ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاس عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ 
    bulan yang sering dilalaikan insan; antara Rajab & Ramadhan.

    وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
    Sya‘ban  adalah bulan di mana amal-amal diangkat kepada Rabb Semesta Alam; maka aku suka jika amalku diangkat, sedang aku dalam keadaan puasa. (HR. Ahmad dan Nasa’i, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no 1898)

    Karena itu, berdasar riwayat shahih disebutkan bahwa RasuluLlah SAW berpuasa pada sebagian besar hari di bulan Sya‘ban. ‘Aisyah berkata: 
    فَما رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وما رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
    “Tak kulihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya dalam sebulan penuh, selain di bulan Ramadan. Dan tidak aku lihat bulan yang beliau paling banyak berpuasa di dalamnya selain bulan Sya‘ban." (HR Al Bukhari & Muslim)

    Dalam Shahih Al Bukhari (1970) ada tambahan dari ‘Aisyah: “Tidak ada bulan yang Nabi SAW lebih banyak berpuasa di dalamnya selain bulan Sya‘ban. Sesungguhnya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” Maksud hadits: beliau berpuasa pada sebagian besar hari-hari bulan Sya‘ban, sebagaimana banyak riwayat lain yang menyatakan demikian.

    Dalam ungkapan bahasa Arab, seseorang bisa mengatakan ‘berpuasa sebulan penuh’ padahal yang dimaksud adalah berpuasa pada sebagian besar hari di bulan itu.’ Demikian keterangan Ibnu Hajar Al ‘Asqalany dalam Fathul Bari, 4/213. 

    Maka berpuasa di bulan Sya‘ban adalah utama, karena: 
    1}’Amal-’amal manusia (secara tahunan) sedang diangkat ke hadapan Allah SWT.
    2} Sya‘ban ialah bulan yang disepelekan; beramal & menghidupkan syi’ar di saat manusia lain lalai memiliki keutamaan tersendiri. 
    Selain kedua hal itu, puasa di bulan Sya‘ban juga dimaknai sebagai: 
    3} Penyambutan & pengagungan terhadap datangnya bulan Ramadan. Karena ibadah-ibadah yang mulia, umumnya didahului oleh pembuka yang mengawalinya; Haji diawali persiapan Ihram di Miqat, Shalat juga diawali dengan bersuci, berwudhu’, dan persiapan-persiapan lainnya yang dimasukkan dalam syarat-syarat shalat.

    Hikmah lain: puasa di bulan Sya‘ban akan membuat tubuh mulai terbiasa untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan optimal. Sebab sering di awal Ramadhan banyak daya & waktu habis untuk penyesuaian diri; padahal tiap detik bulan mulia sangat berharga. Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mencantumkan pendapat: puasa Sya‘ban seumpama sunnah Rawatib (pengiring) bagi puasa Ramadhan. Untuk shalat; ada rawatib qabliyah & ba’diyah. Untuk Ramadhan, qabliyahnya; puasa Sya‘ban & ba’diyahnya; puasa 6 hari di bulan Syawal.

    Keutamaan Sya‘ban bisa kita lihat di: Tahdzib Sunan Abu Dawud, 1/494, Latha’iful Ma’arif, 1/244. Nah, bagaimana tentang Nishfu Sya’ban?

    Hadits-hadits terkait Nishfu Sya‘ban ini sebagian dikategorikan dha’if (lemah), bahkan sebagian lagi dikategorikan maudhu’ (palsu). Utamanya hadits yang mengkhususkan ibadah tertentu atau yang menjanjikan jumlah & bilangan pahala atau balasan tertentu. Tetapi, ada sebuah hadits yang berisi keutamaan malam Nisfhu Sya‘ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu. 

    إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ  
    “Sesungguhnya Allah memeriksa pada setiap malam Nisfhu Sya‘ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali yang berbuat syirik atau yang bertengkar dengan saudaranya.” HR Ibnu Majah (1390). 

    Dalam Zawa’id-nya, riwayat ini dianggap dha’if karena adanya perawi yang dianggap lemah. TETAPI, Ath Thabrani juga meriwayatkannya dari Mu’adz ibn Jabal dalam Mu’jamul Kabir (215). Ibnu Hibban juga mencantumkan hadits ini dalam Shahihnya (5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642). Al-Arna’uth dalam ta’liqnya pada dua kitab terakhir berkata, “SHAHIH dengan syawahid (riwayat-riwayat semakna yang mendukung).” Al-Albani juga menilai hadits Nishfu Sya‘ban ini SHAHIH {Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1144), Shahih Targhib wa Tarhib (1026)}. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun malam Nishfu Sya’ban, di dalamnya terdapat KEUTAMAAN.” (Mukhtashar Fatawa Mishriyah, 291). 

    Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari kalangan TABI'IN di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma’dan & Luqman bin Amir yang menghidupkan malam tersebut dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu pada malam Nishfu Sya‘ban. Dari merekalah kaum muslimin mengambil kebiasaan itu. Imam Ishaq ibn Rahawayh menegaskannya dengan berkata, “Ini BUKAN BID'AH!” 

    ‘Ulama Syam lain, di antaranya Al-Auza’i, TIDAK MENYUKAI perbuatan berkumpul di masjid untuk shalat & berdoa bersama di Nishfu Sya‘ban. Tetapi beliau -dan ‘ulama yang lain- MENYETUJUI keutamaan shalat, baca Al Quran dll pada Nishfu Sya‘ban jika dilakukan sendiri-sendiri. Pendapat ini yang dikuatkan Ibn Rajab Al-Hanbali (Latha’iful Ma’arif, 151) & Ibn Taimiyah (Mukhtashar Fatawa Al Mishriyah, 292). Adapun ‘ulama Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, & para pengikut Imam Malik menganggap hal terkait Nishfu Sya‘ban sebagai bid’ah. Tapi kata mereka; qiyamullail sebagaimana tersunnah pada malam lain & puasa di siangnya sebab termasuk Ayyamul Bidh ialah baik.

    Demikian agar perbedaan pendapat ini difahami & tak menghalangi kita untuk melaksanakan segala ‘amal ibadah utama pada bulan Sya‘ban.

    Bulan Sya‘ban adalah juga kesempatan tuk meng-qadha’ hutang puasa Ramadhan kemarin sebelum datangnya Ramadhan berikut. ‘Aisyah berkata:
    كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فما أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِي شعبَان، الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
    Aku punya hutang puasa Ramadan, aku tak dapat mengqadhanya kecuali di bulan Sya‘ban, karena sibuk melayani Nabi. (HR Al Bukhari-Muslim)

    Imam An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 8/21) & Ibn Hajar (Fathul Bari, 4/189) menjelaskan; dari hadits ‘Aisyah ini disimpulkan: Jika ada ‘udzur, maka qadha’ puasa bisa diakhirkan sampai bulan Sya‘ban. Tanpa ‘udzur, menyegerakannya di bulan Syawal dst lebih utama. 

    Bagaimana jika lalai; tanpa ‘udzur, hutang puasa belum terbayar, tapi Ramadhan baru telah datang?

    Jumhur ‘ulama berpendapat: Dia harus beristighfar atas kelalaiannya pada kewajiban itu & harus bertekad untuk segera meng-qadha’-nya setelah Ramadhan ini. Menurut mereka, tiada kewajiban khusus selain hal itu. Tetapi sebagian ‘ulama berpendapat agar si lalai menambahkan 1 hal lagi. Yakni mengeluarkan 1/2 Sha’ makanan pokok (+/- 1,5 kg) untuk tiap hari yang terlalai belum dibayar hutang puasanya tahun lalu. Ini sebagai pengingat atas kelalaiannya & dia harus tetap mengganti puasa yang terlalai diganti tahun ini pada tahun depannya. Ini berdasar ijtihad beberapa sahabat Nabi SAW. Tak ada nash khususnya, tetapi ijtihad ini dianggap baik. (Fathul Bari, 4/189) 

    Jika masuk bulan Sya‘ban, hendaknya kita saling mengingatkan (juga terutama pada kaum wanita) yang punya hutang puasa agar ditunaikan. 

    Sehari atau 2 hari terakhir Sya‘ban dinamakan Yaumusy-Syakk (hari keraguan), sebab ketidakjelasan apa sudah masuk Ramadhan atau belum. Nabi bersabda:
    لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ
    “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali seseorang  yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa.” {HR Al Bukhari & Muslim}

    Maknanya; terlarang tuk sengaja mengkhususkan berpuasa pada Yaumusy Syakk. Tetapi boleh bagi yang HARUS (nadzar, qadha’, dll) dan boleh juga yang BIASA (karena puasa Dawud, bertepatan Senin/Kamis, dll). Hikmah pelarangan itu sekedar sebagai pemisah. antara puasa Ramadhan yang fardhu dengan puasa sebelum/sesudahnya yang sunnah. (Syarh Muslim 7/194, Latha’iful Ma’arif 151)

    Demikian Shalih(in+at) bincang kita tentang Sya‘ban.

    اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَعْبَانَ وَوَفِّقْنَا فِيهِ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
    "Ya Allah; berkahi kami di bulan Sya'ban, karuniakan taufiq pada kami di dalamnya, & sampaikan kami ke bulan Ramadhan."

     
    ------------------------
    ~ Ust. Salim A. Fillah ~
    ------------------------


    sumber: https://goo.gl/OkAGZS