Sebulan lalu, beberapa handphone terjaring razia. Mungkin sekitar 10 hp. Setelah diperiksa
isinya, ada satu hp yang ternyata bermasalah. Yang merazia sekaligus yang
memeriksa itu kemudian mengatakan kepada saya bahwa di hp itu tersimpan “film
dewasa”. Lalu saya bertanya, film apa? Dia jawab film porno. Itulah mengapa
saya selalu siap merazia hp tapi tidak mau memeriksa isinya. Karena kalau
ternyata ada konten porno nya, jika tidak hati-hati kita bisa anteng
melihatnya. Hahaha
Dan saya
pun tidak setuju kalau film porno kemudian disebut film dewasa. Sangat terkesan
bahwa orang dewasa sangat boleh untuk melihat konten porno. Itu kan keliru. Konten porno,
mau yang dipraktikkan penyanyi dangdut di atas panggung, mau yang diselipkan di
film-film bioskop, mau yang nyempil di sinetron, mau yang dipamerkan lewat
iklan, gambar, tidak layak
dilihat semua orang. Tidak ada batasan umur untuk memutuskan hubungan dengan
konten porno.
Menurut
hasil penelitian, nonton porno itu bisa merusak otak. Sedang yang punya otak bukan
hanya anak-anak. Artinya, film porno itu bukan film dewasa ataupun film orang tua. Tidak heran jika undang-undang anti
pornografi dan pornoaksi berlaku di negara ini. UU itu untuk membatasi semua orang, termasuk orang dewasa. Namun kita sayangkan karena ternyata semangat anti
pornografi ini hanya berakhir di pemberlakuan undang-undang, tindak lanjutnya
tidak ada. Film porno ya film porno, jangan disebut film dewasa. Karena orang dewasa
sekalipun akan mendapat pengaruh buruk dari film porno.
Kita terkadang ingin mengurangi kesan negatif dari sebuah istilah atau nama. Contoh lain seperti penggantian istilah “pelacur” menjadi “tuna susila” kemudian diganti lagi menjadi “pekerja seks komersial”. Seakan kita sudah menjadi orang jahat kalau mengatakan pelacur kepada perempuan yang mengobral kehormatannya. Penggantian istilah inipun sudah kelewatan menurut saya. Kalau disebut “PEKERJA seks komersial (PSK)”, kenapa mereka tidak berdemo ke pemerintah minta upah minimum? :)
Kita terkadang ingin mengurangi kesan negatif dari sebuah istilah atau nama. Contoh lain seperti penggantian istilah “pelacur” menjadi “tuna susila” kemudian diganti lagi menjadi “pekerja seks komersial”. Seakan kita sudah menjadi orang jahat kalau mengatakan pelacur kepada perempuan yang mengobral kehormatannya. Penggantian istilah inipun sudah kelewatan menurut saya. Kalau disebut “PEKERJA seks komersial (PSK)”, kenapa mereka tidak berdemo ke pemerintah minta upah minimum? :)
Mungkin
kawan-kawan menganggap bahasan seperti ini terlalu sepele untuk dibahas. Bagi saya pribadi tidak sepele. Tiap istilah itu ada dengan makna yang membersamainya. Makna yang saya maksud bukan definisi seperti
dalam kamus, tapi energi di balik istilah tersebut. cielaaaaahhhhahaha.. Kekuatan itu akan
berdampak secara sosial. Misalnya istilah pelacur. Istilah pelacur itu memiliki
konotasi negatif. Biarkan tetap berkonotasi negatif, agar orang berpikir
seribu kali untuk mengobral kehormatannya.
Eh,
sekarang malah kita ganti dengan pekerja seks komersial. Pekerja itu jelas konotasinya positif. Pekerja itu lebih bagus daripada penganggur. Makanya jangan heran kalau tempat
pelacuran sulit dihilangkan. Jadi penggunaan istilah-istilah berkonotasi
negatif seperti pelacur dan porno itu justru berguna untuk menekan
penyebarannya. Kecuali utuk istilah-istilah yang bukan masalah sosial seperti "buta" dengan "tuna netra", "budeg" dengan "tuna rungu", penggantian ini tidak masalah, bahkan sangat baik.
sumber gambar: tribunnews.com |
0 comments
Posting Komentar