KALAU ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Kemenag, Polsek,
dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya
diktator mayoritas.Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang
mayoritas bukan yang selain Islam – harus mengalah dan wajib kalah.
Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya
Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan
minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.
Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina
banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak,
yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350
tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan
adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen.
Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika
Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti
adalah Islam.
“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama
dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan
yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan
Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus
menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh
peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang
membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas
kesunyatan Islam.
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan
previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca
Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan
menilai dari sudut pandang mereka.
Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa
melalui apresiasi terhadap Qur’an, saya juga akan siap menyatakan diri
sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan
Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah
demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai
Islam.
Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik,
yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki
wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai
Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa
lagi. Seorang teman menyapa: “Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali
bikin yang etnis ‘gitu…”
Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab
tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-
sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia
Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.
Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan
mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King
mentransfer kasidah “Yarim Wadi-sakib…”, itu universal namanya. Bahasa
jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial,
tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas
estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.
Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang
ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah
terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam
telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat
Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan
diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat
menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan
dan tak ada kompetitornya.
“Al-Islamu mahjubun bil-muslimin “. Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.
Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada
suatu momentum menemukan titik bocor – maka akan meledak. Pemerintah
Indonesia kayaknya harus segera merevisi metoda dan strategi penanganan
antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan ‘sidang pleno’ yang
transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak,
berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di
masa depan.
Sumber: Buku Iblis Nusantara Dajjal Dunia (Krisis Kita Semua) tahun 1998 karya Emha Ainun Nadjib
sumber gambar: republika |
0 comments
Posting Komentar