Toleransi tanpa ketegasan adalah ketidakberdayaan. Sedangkan tanpa
ilmu adalah keberingasan. Tanpa berpijak pada prinsip yang kukuh dan
jelas semenjak dini, anak-anak akan kehilangan orientasi hidup yang
menjadikan dirinya bermakna. Betapa banyak bangsa yang meraih kemajuan
fisik luar biasa, tetapi jiwa mereka kering dan hidup mereka hampa.
Bukankah Jepang mencapai kemajuan dan kemakmuran luar biasa, tetapi pada
saat yang sama, banyak orang menagalami kekosongan makna dalam hidup
mereka.
Inikah yang akan kita siapkan untuk anak-anak
kita? Ataukah kita siapkan mereka untuk menjadi pewaris bumi yang mampu
memakmurkan dengan ilmu-Nya dan meninggikan kalimat Allah di muka bumi
dengan iman dan kesungguhan untuk berdakwah? Ataukah tidak dua-duanya.
Kalimat Allah tidak tegak, kemakmuran tidak dapat. Padahal ketika kita
bicara tentang memakmurkan bumi, maknanya tidaklah sesempit dan
sedangkal kemakmuran finansial. Tetapi bukan di sini tempatnya untuk
berbincang. Kita bertemu sejenak di ruang ini untuk berbincang tentang
apa yang harus kita berikan untuk anak-anak kita, agar tidak
meninggalkan di belakang kita generasi lemah yang kita khawatiri
keadaannya.
Sungguh, kita perlu ajarkan pada anak-anak
kita sikap toleran terhadap mereka yang tidak seiman. Tetapi toleransi
tanpa ilmu adalah kelemahan dan rasa rendah diri. Kita merasa menjunjung
tinggi toleransi, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah meletakkan
keyakinan kita kepada Allah di belakang kita. Kita merasa menegakkan
toleransi, padahal yang terjadi sesungguhnya menanggalkan pegangan kita
pada akidah yang lurus dan iman yang bersih.
Tidak akan
pernah lahir toleransi yang bermartabat kecuali apabila kita yakin bahwa
hanya agama inilah yang benar. Tidak ada yang lain. Sangat sulit saya
membayangkan seseorang mengimani Tuhan, sementara ia tidak merasa
benar-benar percaya bahwa yang ia imani benar-benar Tuhan. Padahal tanpa
meyakini bahwa agama yang ia peluk adalah yang paling benar, apa pun
agama yang ia peluk adalah yang ia yakini, maka sesungguhnya ia bukan
sedang bertoleransi terhadap pemeluk agama lain. Bukan. Ia tidak risau
dengan apa yang terjadi di sekelilingnya karena ia memang imannya rapuh
dan jiwanya gersang.
Jika toleransi kita tegakkan tanpa
masing-masing merasa yakin agamanya benar, maka sesungguhnya yang
demikian ini adalah jalan menuju tidak adanya keimanan kepada Tuhan.
Jika tidak, hanya ada dua kemungkinan; iman kita yang sakit atau kita
yang sakit jiwa. Sebab, tidak mungkin jiwa yang sehat meyakini sesuatu
sebagai kebenaran dan pada saat yang sama meyakini apa yang ditentangnya
sebagai kebenaran juga. Jika sikap beragama yang demikian dianut oleh
kebanyakan orang, maka akan kita jumpai masyarakat yang sakit. Ada
agama, tetapi tidak memberi pengaruh apa pun bagi kehidupan, cara
pandang, kejujuran, kesungguhan kerja, dan seterusnya. Agama berubah
menjadi sekadar gaya hidup, atau bahkan sekadar menjadi upacara yang
hanya dibutuhkan ketika manusia lahir, kawin, dan mati. Pada tingkat
yang lebih parah, agama hanya menjadi upacara pengantar penguburan
jenazah.
Jiwa yang sehat serta memiliki kedewasaan
beragama akan dapat menghormati keyakinan orang lain. Tidak ada halangan
baginya untuk santun terhadap tetangganya yang kafir. Syaratnya, ia
sendiri orang beriman yang benar-benar meyakini kebenaran agamanya.
Tanpa itu, sesungguhnya yang terjadi bukan toleransi, melainkan sikap
tidak peduli pada agama. Dan inilah mimpi buruk bagi peradaban sebuah
bangsa. Sebab karakter bangsa hanya akan terbangun dengan kuat apabila
memiliki pijakan nilai yang kukuh, hidup, dan jelas.
Maka…
Tak
ada pilihan bagi kita dalam mengajarkan toleransi kecuali dengan
menanamkan iman yang kuat di dada anak-anak kita semenjak dini. Tidak
akan lahir generasi yang kuat bermartabat, dan mampu menghormati orang
lain yang tidak seiman kecuali kita besarkan mereka dengan membiasakan
berkata yang benar (qaulan sadîda). Bukankah Allah telah mengingatkan kepadamu dalam Surah An-Nisâ’ ayat 9?
وَلْيَخْشَ
الَّذِيْنَ لَوْتَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا
عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا
"Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatiri
keadaannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah (fal yattaqullâh) dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (wal-yaqûlû qaulan sadîda)." (Q.s. An-Nisâ` [4]: 9).
Saya tidak memperbincangkan lagi tentang qaulan sadîda pada
kesempatan kali ini. Saya kutip ayat ini untuk menegaskan bahwa
generasi yang kuat hanya akan lahir apabila kita besarkan di atas
pijakan takwa dan berkata dengan perkataan benar (qaulan sadîda). Salah satu makna qaulan sadîda berkata
tegas, tidak menutup-nutupi kebenaran. Berpijak pada dua hal inilah
akan lahir anak-anak yang kukuh imannya, lembut peranganinya, dan tegas
sifatnya. Ia toleran kepada pemeluk agama lain karena seperti itulah
contoh yang diberikan oleh Nabi Shallalâhu ’alaihi wa Sallam Bukan karena kerdilnya jiwa, ciutnya nyali, dan rusaknya iman.
Ia
mampu bersikap tegas karena percaya diri yang tinggi, iman yang bersih,
dan ilmu yang benar. Bukan karena keberingasan dan kerasnya hati.
Agar
anak-anak kita mampu bertoleransi tanpa kehilangan sikap tegas, mereka
perlu memiliki keberanian, keyakinan, dan ilmu yang mencukupi. Kita
perlu ajarkan kepada mereka bagaimana sikap tegas harus ditegakkan agar
kelak mereka dapat melindungi dirinya (hifzh al-nafs), melindungi hartanya (hifzh al-mâl), membela agamanya (hifzh al-dîn), melindungi keturunan (hifzh an-nasb) dan melindungi akal (hifzh al-’aql). Inilah lima tujuan syariah, dan memahami jihad adalah pintu awal untuk menegakkannya.
Kita
perlu menanamkan kepada mereka pemahaman tentang jihad secara utuh.
Bukan mengajarkan jihad yang benar dan jihad yang salah, sebab tidak ada
jihad yang salah. Kalau kemudian ada yang salah memahami jihad sehingga
melakukan tindakan yang keliru, maka ini sebenarnya berpangkal pada
tidak utuhnya kita memahami jihad. Terlebih ketika hari ini, kita
menjumpai banyak sekali istilah yang menggunakan jihad sebelum memahami
istilah jihad yang sesungguhnya benar, semakin jauhlah kita dari
pemahaman tentang jihad secara utuh.
Hari ini, kita
menjumpai ada jihad ekonomi, jihad intelektual, jihad pena dan seribu
atau semiliar istilah lain yang menggunakan awalan kata jihad. Jika
siapa pun apat menambahkan kata apa saja sesudah kata jihad, maka apakah
yang dapat kita ambil dari makna jihad? Tak ada. Karena kita berjalan
dengan pikiran kita sendiri-sendiri, bukan dengan petunjuk yang Allah
jamin tidak ada keraguan di dalamnya. Pada gilirannya, ini menyebabkan
sebagian dari kita menganggap agama tak lagi mencukupi untuk menjawab
tantangan zaman dan menyelesaikan persoalan manusia. Padahal pada
kitalah kelemahan itu ada. Salah satunya bersumber dari tidak utuhnya
pemahaman.
Mengajarkan jihad semenjak dini kepada anak
berarti menumbuhkan kepada mereka harga diri dan kepercayaan diri
sebagai orang yang beragama. Mereka belajar memiliki rasa tanggung
jawab. Pangkalnya sikap al-walâ’ wa al-barâ’ yang kuat,
ujung-ujungnya sikap bersungguh-sungguh dalam melakukan setiap amal
shalih. Tidaklah kelak mereka menggerakkan pena–jika ia seorang
penulis–kecuali untuk mengabarkan kebenaran dan menebar kebaikan. Pada
setiap tetes tinta yang dituangkan dengan hati yang hidup dan misi yang
kuat, insya Allah akan lahir kata-kata yang menggerakkan jiwa
untuk melakukan kebaikan. Yang demikian ini bukan karena ia melakukan
jihad pena, tetapi karena kuatnya al-walâ’ wa al-barâ’ yang disertai besarnyarasa tanggung jawab kepada Allah, menjadikan ia tidak membiarkan tintanya tumpah sia-sia.
Tidaklah
ia hadir di dunia kecuali untuk menjadi anugerah bagi alam semesta. Ia
memberi rasa tenteram bagi tetangganya, sekalipun kafir, bukan karena
jihad kemanusiaan. Bukan. Tetapi, ia hadir memberi manfaat bagi
masyarakat sekelilingnya karena agama kita menuntut ia untuk meneladani
perilaku Nabi Shallalâhu ’alaihi wa Sallam.
Sewaktu-waktu,
ia juga mampu bersikap tegas terhadap orang kafir. Bukan karena benci.
Bukan pula karena api permusuhan yang berkobar-kobar tanpa sebab,
melainkan karena harus menegakkan kebenaran. Ia datang untuk
mengingatkan sambil berharap dapat mengantarkan hidayah. Bukan untuk
meluapkan amarah yang membabi buta.
Wallâhu a’lam bish-shawâb.
***Tulisan
ini telah diedit setelah sebelumnya pernah diposting di fanpage ini
beberapa tahun lalu. Ini merupakan bagian dari buku yang insya Allah
akan diterbitkan oleh Penerbit Pro-U Media, Yogyakarta.
----------------------
~ Ust. Fauzil Adhim ~
----------------------
sumber: https://goo.gl/MhdDEM
0 comments
Posting Komentar