Kelak ia dikenal sebagai Amirul Mukminin fil Hadits. Lahir di Bukhara,
Uzbekistan, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardizbah Al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih dikenal dengan sebutan Imam
Bukhari merupakan salah satu guru dari Imam Muslim, meskipun di dalam
Shahih Muslim tidak ada jalur periwayatan melalui Imam Bukhari. Dan ini
ada cerita yang sangat khusus.
Tahun 250 Hijriyah, Imam Bukhari datang ke Naisabur dan menetap di sana. Sekarang Naisabur merupakan salah satu kota di Provinsi Razavi Khorasan, Iran. Di sana tinggal seorang 'alim ahli hadits, hafidz (penghafal hadits) dan guru dari para ulama. Namanya Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli atau dikenal juga dengan Muhammad bin Yahya An-Naisaburi. Ia berkata kepada murid-muridnya tentang Imam Bukhari di saat awal tinggal di Naisabur dan memiliki majelis hadits, “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.”
Menurut sejarah, Imam Bukhari pernah berguru kepada Imam Adz-Dzuhli. Sosok lain yang pernah berguru kepada Imam Adz-Dzuhli adalah Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Ward bin Kausyadz Al-Qusyairi An-Naisaburi. Kun-yahnya Abul Husain, tapi terkenal dengan sebutan Imam Muslim. Beliau berguru kepada Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli hingga memuncaknya fitnah terhadap Imam Bukhari, yakni tatkala Adz-Dzuhli mengeluarkan ancaman agar meninggalkan majelisnya apabila masih tetap mengambil ilmu dari Imam Bukhari.
Apa sebabnya Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli bersikap sangat keras terhadap muridnya sendiri, seseorang yang bahkan ia serukan manusia untuk berguru kepadanya? Ini berhubungan dengan merebaknya fitnah syubhat dari kalangan Jahmiyah yang ketika itu sedang bergejolak. Kelompok Jahmiyah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dan ini merupakan kerusakan yang sangat besar. Dalam hal ini, Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli sebenarnya telah memperingatkan murid-muridnya agar tidak bertanya kepada Imam Bukhari persoalan yang sensitif ini karena khawatir memicu fitnah. Kata Adz-Dzuhli, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bayt, anti tesis Syiah), Rafidhi (Syiah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di Khorasan ini mengolok-olok kita semua.”
Kekhawatiran Imam Adz-Dzuhli pada akhirnya terjadi. Tetapi ini bukan peristiwa yang tiba-tiba. Kedatangan Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari di Naisabur yang segera menarik segenap perhatian muslimin yang haus ilmu, menjadikan beberapa ulama di Naisabur memiliki ghil maupun hasad terhadap Imam Bukhari. Di antara mereka kemudian melontarkan tuduhan bahwa Imam Bukhari berpaham Jahmiyah, yakni meyakini Al-Qur’an itu makhluk. Bukan kalamuLlah. Sementara para ulama ahlussunnah sepakat bahwa keyakinan ini merupakan bid’ah yang sangat besar dan majelis ilmunya tidak layak didatangi. Sikap terbaik terhadap Jahmiyah adalah menjauhi majelisnya sejauh-jauhnya.
Terjadilah apa yang terjadi. Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Bukhari di majelis ilmunya, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an? Ia makhluk atau bukan makhluk?”
Mendengar pertanyaan itu, Abu Abdillah –kun-yah dari Imam Bukhari—berpaling dan tidak mau menjawab. Laki-laki itu bertanya sampai tiga kali dan Imam Bukhari tetap tidak mau menjawab. Laki-laki itu pun memaksa, dan pada akhirnya Imam Bukhari menjawab,“Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.”
Dalam riwayat lain, Imam Bukhari menjawab dengan, “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.”
Ini adalah jawaban yang sangat tegas dan ringkas. Al-Qur’an adalah kalamuLlah. Perkataan Allah. Bukan makhluk. Perbuatan manusia adalah makhluk, termasuk ketika membaca Al-Qur’an, tetapi bukan bacaan itu sendiri. Ini merupakan persoalan yang pelik, meskipun sebenarnya sederhana, bagi orang awam maupun mereka yang tergesa-gesa memahami. Perbuatan kita melafalkan adalah makhluk, tapi lafal Al-Qur’an merupakan kalamuLlah. Itu sebabnya, dalam pembahasan ini pun saya perlu mengulang-ulang, sekedar untuk mengingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam membaca dan memahami. Jangan gunakan speed-reading saat membaca topik semacam ini. Dapat menjerumuskan dan membahayakan.
Sekali lagi, sangat jelas, ringkas dan tegas jawaban Imam Bukhari bahwa Al-Qur’an adalah kalamuLlah, sementara perbuatan kita adalah makhluk. Tetapi jawaban Imam Bukhari ini segera menyebar secara berbeda. Mereka mengatakan Imam Bukhari berpendapat bahwa Al-Qur’an yang kita lafalkan adalah makhluk. Padahal amat sangat berbeda antara perbuatan kita melafalkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang kita lafalkan.
Jawaban yang telah bergeser dari ucapan Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari yang sebenarnya ini akhirnya sampai kepada Imam Muhammad bin Yahya An-Naisaburi. Seorang ahli hadits yang memiliki disiplin sangat ketat dalam menerima kabar, kali ini lalai menelisik lebih teliti disebabkan berita itu berasal dari mereka yang bermajelis dengan Imam Bukhari. Sementara Jahmiyah merupakan isu yang paling sensitif saat itu. Beliau bahkan sampai berkata, “Al-Qur’an adalah kalamuLlah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa Al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk maka dia adalah ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Serta merta menerima tanpa menelisik lebih dulu perkataan seseorang yang hadir dalam satu majelis inilah yang saya sebut sebagai penyakit “saya mendengar sendiri secara langsung”. Seolah hadir di majelis itu menjamin ketepatan informasi 100%. Padahal alangkah sering mustami’in (audiens) menangkap secara berbeda, bahkan bertentangan, dengan apa yang disampaikan oleh narasumber.
Menganggap Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il sebagai orang yang meyakini seburuk-buruk paham tentang kedudukan Al-Qur’an merupakan prasangka yang belum dipenuhi haknya. Apa hak orang yang dikenai desas desus? Tabayyun dan tatsabbut untuk memastikan bahwa Imam Bukhari benar-benar berpaham demikian. Tetapi sebelum keduanya dipenuhi, kekhawatiran Muhammad bin Yahya An-Naisaburi telah mendahului kehati-hatiannya, bahkan sampai menganggap setiap yang bermajelis dengan Imam Bukhari pasti sama sesatnya. Ini terlihat dari peringatan kerasnya, “Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Pola pikir semacam ini agaknya terus hidup hingga zaman ini, sehingga mudah sekali orang menyimpulkan dan memastikan kerusakan aqidah seseorang hanya karena sepotong informasi yang –sekali lagi—masih memerlukan tabayyun dan tatsabbut.
Pernyataan Imam Muhammad bin Yahya An-Naisaburi tersebut merupakan ucapan yang keras sekaligus hukuman sangat berat. Itu sebabnya, murid-murid Imam Bukhari segera berguguran, tidak lagi mengambil riwayat darinya, kecuali Muslim bin Hajjaj (yang masih tetap berguru kepada Imam Muhammad bin Yahya An-Naisaburi) dan Ahmad bin Salamah. Sikap Imam Muslim ini menyebabkan Imam Adz-Dzuhli bersikap lebih keras lagi dengan mengatakan, “Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal maka tidak halal hadir dalam majelis kami.”
Perkataan ini menyebabkan Imam Muslim mengambil keputusan dramatis. Beliau melepas selempangnya, meletakkan catatan di atas imamah (penutup kepalanya), berdiri di hadapan banyak orang dan meninggalkan majelisnya secara terbuka. Imam Muslim kemudian mengirimkan seluruh catatan yang didapat dari majelis hadis Imam Dzuhli ini di atas punggung onta. Ia kirimkan seluruhnya kepada Imam Adz-Dzuhli. Imam Muslim tetap menjalin hubungan yang sangat baik, berguru kepada Imam Bukhari, tetapi tidak meriwayatkan melalui jalur Imam Bukhari. Beliau memilih untuk mendatangi gurunya Imam Bukhari sehingga jalurnya langsung dari gurunya. Ia berkata kepada Imam Bukhari, “Tidak ada yang membencimu kecuali seorang yang hasad. Aku pun bersaksi bahwa tidak ada di dunia ini orang yang seperti engkau.”
Ada pelajaran menarik dari Imam Muslim. Meskipun tidak lagi mengambil ilmu dari Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, tetapi ia tetap menjaga adabnya dan menjunjung kehormatan gurunya. Ia menjaga perasaan gurunya agar tidak terjadi fitnah yang lebih luas. Ia mengambil sikap tidak meriwayatkan dari kedua ahli hadis terkemuka ini, baik melalui Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli maupun Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari.
Berkait dengan rontoknya murid Imam Bukhari, ada pelajaran berharga yang patut kita ambil. Rontoknya murid tidak menjadikan Imam Bukhari berhenti mengajarkan hadits Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berharga. Ia tetap istiqamah, meskipun muridnya sangat sedikit. Ia tetap gigih mengajar, meskipun sebagian besar muridnya tidak berani mendatangi majelisnya.
Apakah rontoknya murid menyebabkan keutamaan dan kemuliaan Imam Bukhari hancur? Tidak. Berita bohong itu tidak mendatangkan madharat baginya. Bahkan kebaikan yang sangat besar. Allah Ta’ala kelak meninggikan keutamaan Imam Bukhari dalam hal hadits di atas para ulama yang lainnya. Imam Bukhari dan murid setianya, Imam Muslim, kelak dikenal sebagai dua ahli hadits paling terpercaya. Kalau kemudian Imam Bukhari memilih meninggalkan Naisabur di Khorasan untuk kembali ke kampungnya di Bukhara, Uzbekistan, adalah demi menghindarkan fitnah yang lebih besar bagi ummat Islam.
Langkah Imam Bukhari kembali ke kampungnya dan mengajar di sana ternyata bukan sepi dari fitnah. Sebagaimana di Naisabur, kedatangan Imam Bukhari disambut gegap gempita oleh penduduk kampungnya. Kali ini fitnah tersebut datang dari gubernur Bukhara sendiri, yakni Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli. Kelak Khalid Adz-Dzuhli dihukum oleh Sultan Uzbekistan di masa itu, yakni Ibnu Thahir.
Imam Bukhari akhirnya memilih pindah ke Khartand, sebuah desa kecil di Samarkand, atas permintaan muslimin di Khartand. Sekarang Samarkand masuk wilayah Uzbekistan. Mereka inilah penolong Imam Bukhari (trenyuh saya saat mengingat ini, membawa angan-angan saya ke bumi Madinah tempat kaum Anshar dahulu berasal). Beliau wafat di sana tepat di hari ‘Idul Fithri 256 Hijriyah.
Masih banyak yang ingin saya bincangkan. Tapi sepertinya perlu terpisah agar catatan ini tidak terlalu panjang. Selebihnya, jika seorang 'alim sekelas Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli saja dapat terjatuh pada kekhilafan semacam itu disebabkan mendapatkan berita dari orang yang mendengar sendiri, bagaimana dengan kita yang sedikit ilmu dan kurang hati-hati ini?
Semoga Allah Ta'ala merahmati Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, Imam Muslim, Imam Bukhari dan murid-murid mereka yang tegak di atas sunnah.
Tahun 250 Hijriyah, Imam Bukhari datang ke Naisabur dan menetap di sana. Sekarang Naisabur merupakan salah satu kota di Provinsi Razavi Khorasan, Iran. Di sana tinggal seorang 'alim ahli hadits, hafidz (penghafal hadits) dan guru dari para ulama. Namanya Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli atau dikenal juga dengan Muhammad bin Yahya An-Naisaburi. Ia berkata kepada murid-muridnya tentang Imam Bukhari di saat awal tinggal di Naisabur dan memiliki majelis hadits, “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.”
Menurut sejarah, Imam Bukhari pernah berguru kepada Imam Adz-Dzuhli. Sosok lain yang pernah berguru kepada Imam Adz-Dzuhli adalah Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Ward bin Kausyadz Al-Qusyairi An-Naisaburi. Kun-yahnya Abul Husain, tapi terkenal dengan sebutan Imam Muslim. Beliau berguru kepada Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli hingga memuncaknya fitnah terhadap Imam Bukhari, yakni tatkala Adz-Dzuhli mengeluarkan ancaman agar meninggalkan majelisnya apabila masih tetap mengambil ilmu dari Imam Bukhari.
Apa sebabnya Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli bersikap sangat keras terhadap muridnya sendiri, seseorang yang bahkan ia serukan manusia untuk berguru kepadanya? Ini berhubungan dengan merebaknya fitnah syubhat dari kalangan Jahmiyah yang ketika itu sedang bergejolak. Kelompok Jahmiyah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dan ini merupakan kerusakan yang sangat besar. Dalam hal ini, Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli sebenarnya telah memperingatkan murid-muridnya agar tidak bertanya kepada Imam Bukhari persoalan yang sensitif ini karena khawatir memicu fitnah. Kata Adz-Dzuhli, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bayt, anti tesis Syiah), Rafidhi (Syiah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di Khorasan ini mengolok-olok kita semua.”
Kekhawatiran Imam Adz-Dzuhli pada akhirnya terjadi. Tetapi ini bukan peristiwa yang tiba-tiba. Kedatangan Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari di Naisabur yang segera menarik segenap perhatian muslimin yang haus ilmu, menjadikan beberapa ulama di Naisabur memiliki ghil maupun hasad terhadap Imam Bukhari. Di antara mereka kemudian melontarkan tuduhan bahwa Imam Bukhari berpaham Jahmiyah, yakni meyakini Al-Qur’an itu makhluk. Bukan kalamuLlah. Sementara para ulama ahlussunnah sepakat bahwa keyakinan ini merupakan bid’ah yang sangat besar dan majelis ilmunya tidak layak didatangi. Sikap terbaik terhadap Jahmiyah adalah menjauhi majelisnya sejauh-jauhnya.
Terjadilah apa yang terjadi. Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Bukhari di majelis ilmunya, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an? Ia makhluk atau bukan makhluk?”
Mendengar pertanyaan itu, Abu Abdillah –kun-yah dari Imam Bukhari—berpaling dan tidak mau menjawab. Laki-laki itu bertanya sampai tiga kali dan Imam Bukhari tetap tidak mau menjawab. Laki-laki itu pun memaksa, dan pada akhirnya Imam Bukhari menjawab,“Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.”
Dalam riwayat lain, Imam Bukhari menjawab dengan, “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.”
Ini adalah jawaban yang sangat tegas dan ringkas. Al-Qur’an adalah kalamuLlah. Perkataan Allah. Bukan makhluk. Perbuatan manusia adalah makhluk, termasuk ketika membaca Al-Qur’an, tetapi bukan bacaan itu sendiri. Ini merupakan persoalan yang pelik, meskipun sebenarnya sederhana, bagi orang awam maupun mereka yang tergesa-gesa memahami. Perbuatan kita melafalkan adalah makhluk, tapi lafal Al-Qur’an merupakan kalamuLlah. Itu sebabnya, dalam pembahasan ini pun saya perlu mengulang-ulang, sekedar untuk mengingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam membaca dan memahami. Jangan gunakan speed-reading saat membaca topik semacam ini. Dapat menjerumuskan dan membahayakan.
Sekali lagi, sangat jelas, ringkas dan tegas jawaban Imam Bukhari bahwa Al-Qur’an adalah kalamuLlah, sementara perbuatan kita adalah makhluk. Tetapi jawaban Imam Bukhari ini segera menyebar secara berbeda. Mereka mengatakan Imam Bukhari berpendapat bahwa Al-Qur’an yang kita lafalkan adalah makhluk. Padahal amat sangat berbeda antara perbuatan kita melafalkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang kita lafalkan.
Jawaban yang telah bergeser dari ucapan Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari yang sebenarnya ini akhirnya sampai kepada Imam Muhammad bin Yahya An-Naisaburi. Seorang ahli hadits yang memiliki disiplin sangat ketat dalam menerima kabar, kali ini lalai menelisik lebih teliti disebabkan berita itu berasal dari mereka yang bermajelis dengan Imam Bukhari. Sementara Jahmiyah merupakan isu yang paling sensitif saat itu. Beliau bahkan sampai berkata, “Al-Qur’an adalah kalamuLlah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa Al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk maka dia adalah ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Serta merta menerima tanpa menelisik lebih dulu perkataan seseorang yang hadir dalam satu majelis inilah yang saya sebut sebagai penyakit “saya mendengar sendiri secara langsung”. Seolah hadir di majelis itu menjamin ketepatan informasi 100%. Padahal alangkah sering mustami’in (audiens) menangkap secara berbeda, bahkan bertentangan, dengan apa yang disampaikan oleh narasumber.
Menganggap Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il sebagai orang yang meyakini seburuk-buruk paham tentang kedudukan Al-Qur’an merupakan prasangka yang belum dipenuhi haknya. Apa hak orang yang dikenai desas desus? Tabayyun dan tatsabbut untuk memastikan bahwa Imam Bukhari benar-benar berpaham demikian. Tetapi sebelum keduanya dipenuhi, kekhawatiran Muhammad bin Yahya An-Naisaburi telah mendahului kehati-hatiannya, bahkan sampai menganggap setiap yang bermajelis dengan Imam Bukhari pasti sama sesatnya. Ini terlihat dari peringatan kerasnya, “Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Pola pikir semacam ini agaknya terus hidup hingga zaman ini, sehingga mudah sekali orang menyimpulkan dan memastikan kerusakan aqidah seseorang hanya karena sepotong informasi yang –sekali lagi—masih memerlukan tabayyun dan tatsabbut.
Pernyataan Imam Muhammad bin Yahya An-Naisaburi tersebut merupakan ucapan yang keras sekaligus hukuman sangat berat. Itu sebabnya, murid-murid Imam Bukhari segera berguguran, tidak lagi mengambil riwayat darinya, kecuali Muslim bin Hajjaj (yang masih tetap berguru kepada Imam Muhammad bin Yahya An-Naisaburi) dan Ahmad bin Salamah. Sikap Imam Muslim ini menyebabkan Imam Adz-Dzuhli bersikap lebih keras lagi dengan mengatakan, “Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal maka tidak halal hadir dalam majelis kami.”
Perkataan ini menyebabkan Imam Muslim mengambil keputusan dramatis. Beliau melepas selempangnya, meletakkan catatan di atas imamah (penutup kepalanya), berdiri di hadapan banyak orang dan meninggalkan majelisnya secara terbuka. Imam Muslim kemudian mengirimkan seluruh catatan yang didapat dari majelis hadis Imam Dzuhli ini di atas punggung onta. Ia kirimkan seluruhnya kepada Imam Adz-Dzuhli. Imam Muslim tetap menjalin hubungan yang sangat baik, berguru kepada Imam Bukhari, tetapi tidak meriwayatkan melalui jalur Imam Bukhari. Beliau memilih untuk mendatangi gurunya Imam Bukhari sehingga jalurnya langsung dari gurunya. Ia berkata kepada Imam Bukhari, “Tidak ada yang membencimu kecuali seorang yang hasad. Aku pun bersaksi bahwa tidak ada di dunia ini orang yang seperti engkau.”
Ada pelajaran menarik dari Imam Muslim. Meskipun tidak lagi mengambil ilmu dari Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, tetapi ia tetap menjaga adabnya dan menjunjung kehormatan gurunya. Ia menjaga perasaan gurunya agar tidak terjadi fitnah yang lebih luas. Ia mengambil sikap tidak meriwayatkan dari kedua ahli hadis terkemuka ini, baik melalui Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli maupun Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari.
Berkait dengan rontoknya murid Imam Bukhari, ada pelajaran berharga yang patut kita ambil. Rontoknya murid tidak menjadikan Imam Bukhari berhenti mengajarkan hadits Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berharga. Ia tetap istiqamah, meskipun muridnya sangat sedikit. Ia tetap gigih mengajar, meskipun sebagian besar muridnya tidak berani mendatangi majelisnya.
Apakah rontoknya murid menyebabkan keutamaan dan kemuliaan Imam Bukhari hancur? Tidak. Berita bohong itu tidak mendatangkan madharat baginya. Bahkan kebaikan yang sangat besar. Allah Ta’ala kelak meninggikan keutamaan Imam Bukhari dalam hal hadits di atas para ulama yang lainnya. Imam Bukhari dan murid setianya, Imam Muslim, kelak dikenal sebagai dua ahli hadits paling terpercaya. Kalau kemudian Imam Bukhari memilih meninggalkan Naisabur di Khorasan untuk kembali ke kampungnya di Bukhara, Uzbekistan, adalah demi menghindarkan fitnah yang lebih besar bagi ummat Islam.
Langkah Imam Bukhari kembali ke kampungnya dan mengajar di sana ternyata bukan sepi dari fitnah. Sebagaimana di Naisabur, kedatangan Imam Bukhari disambut gegap gempita oleh penduduk kampungnya. Kali ini fitnah tersebut datang dari gubernur Bukhara sendiri, yakni Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli. Kelak Khalid Adz-Dzuhli dihukum oleh Sultan Uzbekistan di masa itu, yakni Ibnu Thahir.
Imam Bukhari akhirnya memilih pindah ke Khartand, sebuah desa kecil di Samarkand, atas permintaan muslimin di Khartand. Sekarang Samarkand masuk wilayah Uzbekistan. Mereka inilah penolong Imam Bukhari (trenyuh saya saat mengingat ini, membawa angan-angan saya ke bumi Madinah tempat kaum Anshar dahulu berasal). Beliau wafat di sana tepat di hari ‘Idul Fithri 256 Hijriyah.
Masih banyak yang ingin saya bincangkan. Tapi sepertinya perlu terpisah agar catatan ini tidak terlalu panjang. Selebihnya, jika seorang 'alim sekelas Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli saja dapat terjatuh pada kekhilafan semacam itu disebabkan mendapatkan berita dari orang yang mendengar sendiri, bagaimana dengan kita yang sedikit ilmu dan kurang hati-hati ini?
Semoga Allah Ta'ala merahmati Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, Imam Muslim, Imam Bukhari dan murid-murid mereka yang tegak di atas sunnah.
sumber: https://goo.gl/DpJ2Hc
----------------------------
~ Ust. Fauzil Adhim ~
----------------------------
sumber gambar: https://goo.gl/H0V8jj |
0 comments
Posting Komentar