.....
Ialah tali Allah yang terentang teguh menjadi pegangan ummat manusia
sepanjang zaman. Maka untuk mewakili matarantai Islam dan Muslim itu,
Allah memilih nama Ibrahim ‘Alaihis Salam kekasihNya. Inilah sosok yang ketika Allah perintahkan padanya, “Aslim..
Islamlah engkau!”, bergegas dia menyambut, “Aku berislam pada Rabb
semesta alam.” Maka inilah agama yang mudah, luas, dan tegas. Inilah
risalah yang sederhana, indah, dan menyejarah.
Bahwa pengertiannya sederhana; yakni sebersahaja Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menjawab ketika ditanya oleh Malaikat Jibril yang menyamar, apa itu
Islam, dalam hadits panjang dari Sayyidina ‘Umar yang dibawakan oleh
Imam Muslim. Adalah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak
berrumit-rumit dengan asal kata dan istilah. Tetapi menjawab dengan
definisi ‘ilmiah yang ‘amaliah, “Islam itu bahwasanya engkau bersaksi
bahwa tiada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah
jika memampuinya.”
Berpunca jaminan Allah “Kusempurnakan agama kalian” hingga makna
‘amal yang bersahaja dari Rasulullah inilah, kata “Islam” itu telah
cukup, utuh, lagi menyeluruh.
Maka memberi sandaran berupa sebuah kata ataupun frasa di belakang
kata Islam rasanya tidak perlu, juga merepotkan. Bahkan kata segagah “kaaffah” dan frasa secantik “rahmatan lil ‘aalamiin”
pun ketika digandengkan dengannya menjadi “Islam Kaaffah” serta “Islam
Rahmatan lil ‘Aalamiin” telah bermasalah sejak pengambilan asalnya.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaaffah.”
(QS Al Baqarah [2]: 108)
Dalam susunan ayat ini, kata “kaaffatan.. secara keseluruhannya” adalah kata keterangan untuk “udkhuluu.. masuklah kalian.” Jadi yang kaaffah adalah masuknya. Yakni masuklah secara kaaffah ke dalam Islam. Adapun kata “As Silm.. kedamaian”
yang oleh Imam Ath Thabari setelah menyampaikan banyak riwayat tentang
tafsirnya dari Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, As-Suddiy, Ibnu Zaid, dan
Adh-Dhahhak disimpulkan sebagai “Islam”, di dalam ayat ini berdiri
tunggal, tidak diberi sandaran apapun.
Sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Imam Al Baghawi bahwa ayat
ini turun tentang sebagian Ahli Kitab yang ketika masuk Islam masih
mengagungkan hari Sabtu dan bahkan meminta izin untuk tetap membaca
Taurat dalam shalat dengan alasan bahwa ianya adalah Kalamullah; maka
tuntutan ayat ini menunjukkan kesempurnaan dan kemenyeluruhan Islam yang
menjadikan segala lain tak diperlukan sebab ia telah cukup lagi
mencakup.
“Dan tidaklah Kami utus engkau wahai Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya’ [21]: 107)
Pun di ayat ini, kita mendapati bahwa frasa “rahmatan lil ‘aalamiin” adalah keterangan untuk “arsalnaaka..
Kami utus engkau”. Dengan demikian maknanya, rahmat semesta alam itu
adalah Rasulullah. Sehingga gabungan kata yang menjadi simpulannya
adalah “Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam rahmat bagi semesta alam”, dan bukan “Islam Rahmatan lil ‘Alamin.”
Ini sebagaimana yang disampaikan Imam Ath Thabari dalam Jami’ul Bayan maupun Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkamil Quran, bahwa; “Rahmat ini dalam makna umum dan merata bagi semuanya. Karena lafazh al ‘aalamiin
menunjukkan makna mutlak dan menyeluruh, maksudnya rahmat untuk alam
manusia, yang mukmin dan yang kafir; untuk alam Malaikat; rahmat untuk
alam jin, yang mukmin dan yang kafir; dan rahmat untuk alam hewan.”
“Adapun rahmat untuk yang beriman, maka Allah telah memberikan
hidayah kepada mereka, dan menanamkan iman ke dalam hati mereka.
Kemudian juga memasukkan mereka ke dalam surga dengan rahmat itu karena
mereka telah mengamalkan ajaran yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan rahmat untuk orang-orang kafir, yaitu bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak
langsung mengadzab mereka di dunia ini seperti Dia telah membinasakan
orang-orang kafir sebelum mereka yang telah mendustakan para Nabi dan
Rasul dengan penenggelaman dan pembenaman, melainkan menundanya hingga
hari akhirat.”
Jadi, jika kata segagah “kaaffah” dan frasa secantik “rahmatan lil ‘aalamiin”
pun ketika digandengkan dengan Islam telah bermasalah sejak pengambilan
asalnya; kita akan lebih kesulitan lagi memberi argumentasi pada
penisbatan Islam terhadap kata lain yang tak diambil dari Al Quran
semisal “Liberal”, “Progresif”, atau juga “Timur Tengah” dan
“Nusantara.”
....
sumber: http://t.co/loCqLJl000
------------------------
~ Ust. Salim ~
------------------------
0 comments
Posting Komentar