Pertama, Islam memandang rasa malu adalah akhlak yang sangat utama di dalam agama. Bahkan Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu” (HR Ibnu Majah)
Terlebih bagi wanita, rasa malu ini
adalah pakaian baginya, menjadi hiasan terbaik yang bisa dikenakan oleh
seorang wanita, karena Rasulullah juga berpesan, rasa malu itu tidak
mengakibatkan kecuali kebaikan.
Rasulullah juga bersabda,
“Keimanan itu ada 70 sekian cabang atau
keimanan itu ada 60 sekian cabang. Seutama-utamanya ialah ucapan ‘La
ilaha illallah’ dan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan gangguan dari
jalan, dan malu itu adalah cabang dari keimanan” (HR Bukhari Muslim)
Bila seseorang betul-betul mengetahui
fakta selfie, maka mereka akan memahami betul bahwa selfie yang
dilakukan kebanyakan remaja Muslimah bahkan menjangkiti ibu-ibu pun,
bukan lagi terkait dengan teknik foto, namun sudah banyak masuk ke dalam
ranah perilaku narsis tadi, benar-benar sudah berlebihan.
Bagi yang memahami betul fenomena ini,
akan mengetahui tingkah polah kaum Muslimah yang desperately terlihat
cantik, mati-matian cari perhatian dan komentar dengan foto selfienya,
dengan berbagai macam pose, mimik, dan gaya, andalannya duck-face (wajah
dengan bibir yang dibuat seperti bebek).
Padahal Allah berpesan pada Muslimah,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
‘Hendaklah mereka tundukkan pandangannya, dan memelihara kemaluannya,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak daripadanya’…” (QS 24:31)
Perintah Allah sudah jelas, bahwa wanita
harus menjaga diri mereka, menjaga rasa malu dan kemaluan, tidak justru
menampakkan perhiasannya, atau bahkan memamerkan dirinya pada publik.
Dalam ayat yang lain Allah singgung pula
tentang perilaku tabarruj, yaitu segala sesuatu tindakan berhias yang
ditujukan agar diperhatikan oleh lelaki.
“dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS 33:33)
Menurut Ibnu Mandzur, arti tabarruj
adalah wanita yang memperlihatkan keindahan dan perhiasannya dengan
sengaja kepada lelaki. Imam Qatadah menambahkan tatkala menafsirkan ayat
ini, bahwa tabarruj adalah wanita yang saat berjalan keluar dari
rumahnya berlenggak-lenggok lagi menggoda lelaki.
Sampai disini saja, kita semua harus
bermuhasabah, memang ini perkara amalan hati, namun alangkah baiknya
bila kita bertanya pada diri sendiri, apakah amanah yang Allah pinta
untuk kita jaga itu, rasa malu itu sudah kita tunaikan? Ataukah kita
menggerusnya terus-menerus dengan melatih memamerkan diri kita pada
oranglain? Salah satunya dengan selfie?
Kedua, bila kita memperhatikan
fakta secara mendalam, maka kita akan memperhatikan bahwa fenomena
selfie ini sangat berkaitan dengan materialisme. Bahwa segala sesuatu
diukur dengan kepuasan fisik, mencari perhatian dari yang fana dan
tertagih untuk melakukan hal tersebut terus-menerus. Karenanya bahaya
selfie ini dikhawatirkan akan mengantarkan kita paling banyak pada
takabbur, riya, dan paling sedikir sifat ujub, yang ketiganya adalah
penghancur amal salih.
Kita tidak sedang mengatakan bahwa
selfie pasti ujub, riya, takabbur, tidak pernah. Kita pun tidak membahas
halal dan haramnya. Selfie kita kembalikan lagi sebagai salah satu
teknik foto, dan berfoto adalah boleh. Namun apakah salah ketika kita
bernasihat bahwa hati-hati seringnya selfie ini berujung pada ujub,
riya, takabbur?
“Tiga dosa yang membinasakan, sifat
pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang
terhadap dirinya” (HR Thabrani)
Apa yang sebenarnya orang inginkan
tatkala melakukan selfie? Tentu ada banyak niat. Hanya saja bila kita
perhatikan kebanyakan foto yang dihasilkan? Berbagai pose yang dibuat
dengan mimik yang tak kalah ganasnya, mengagumi diri sendiri, takjub
pada diri sendiri, bukankah ini namanya ujub?
Naik lagi satu tingkat, selfie ini
dilakukan agar bisa diunggah ke media sosial, agar dikomentari dan
di-likes, mulailah dia berbuat karena orang lain, bukan karena Allah
Swt, bukankah ini namanya riya?
Naik lagi satu tingkat, dengan mengagumi
foto, dipuja-puji oleh orang lain, lalu dia menganggap dirinya lebih
dari orang lain, bukankah ini takabbur?
Bila diantara kita bebas daripada
sifat-sifat begitu, tentu kita bersyukur. Dan jikalau kita tidak
memiliki hal-hal seperti itu saat melakukan selfie, maka silakan saja.
Hanya saja hati-hati, hati yang berpenyakit, seringkali tidak menyadari.
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri” (HR Muslim)
Jadi jelas disini, tidak pernah
sekalipun saya menyatakan selfie itu haram, yang ada hanya nasihat dari
seorang Muslim pada Muslim yang lainnya. Jika ada kebaikan mudah-mudahan
kita dapat menyadari, bila tidak ada kebaikan maka campakkan saja.
***********
- Felix Siauw -
sumber: http://goo.gl/gS18UY
ust.Felix |
0 comments
Posting Komentar