Pemerintahan Jokowi ini memang penuh kejutan dan tingkahnya terkesan
ada-ada saja. Kejutan kali ini datang dari Mentri Agama, Lukman
Saifuddin. Setelah keputusannya menginstruksikan seorang qori membaca quran denganlanggam Jawa, kini beliau menyerukan umat muslim yang berpuasa agar
menghormati orang yang tidak berpuasa. Setidaknya begitu yang ditulis banyak
media online. Walaupun pak mentri nyatakan itu adalah kesalahan pemaknaan,
namun ribuan reaksi keras sudah mendahului upaya bela diri pak mentri.
Salah satu komentar berbunyi begini, “orang lain merayakan
hari raya, muslim harus menghormati; muslim berpuasa, muslim pun harus
menghormati yang tidak puasa. Kok muslim terus yang disuruh hormat??” Hahahaha
iya juga, pasti marah lah kalo terus disuruh hormat, kan pegel.. Saya melihat
kalimat ini sebagai gambaran, bahwa baiknya hubungan antar umat beragama di Indonesia
ini tidak sepenuhnya disetujui oleh nurani. Mungkin ini fitrahnya hati, jalinan
ukhuwah sesama muslim tak pernah akan bisa ditandingi semangat toleransi antar
umat beragama yang sehebat apapun.
Karenanya, negara harus membuat aturan yang adil agar antar
umat beragama tidak saling mendzolimi. Demikian pula yang diatur dalam Piagam
Madinah yang keluar pada masa kenabian. Diatur sedemikian rupa hak-hak umat
beragama yang tidak boleh didzolimi umat agama lain. Maka disinilah perlunya
berhati-hati membaca sejarah. Hak asasi manusia selama ini disebarluaskan
kepada pelajar Indonesia dinyatakan sebagai sesuatu yang bermula tertulis dalam
dokumen yang dinamakan Magna Charta. Dokumen kebanggaan aktivis HAM ini sebetulnya
terlambat beratus tahun lamanya dari dokumen yang memuat HAM yang dibuat Nabiyalloh
Muhammad s.a.w., yakni Piagam Madinah. Hanya saja karena banyak kepentingan,
sejarah tentang ini sengaja tidak dicatat.
Maka tidak heran jika hingga hari ini seruan perlindungan
HAM dari pemerintah terus berorientasi ke barat. Mentri Agama pun terus
menyerukan toleransi antar umat beragama, salah satunya sikap saling
menghormati antar mereka. Nah, sekarang mari kita komentari ajakan menag Lukman
Saifuddin kemarin itu. Pak mentri meminta agar muslim yang berpuasa menghormati
orang lain yang tidak berpuasa. Bagi sebagian muslim, kalimat ini dirasa tidak
adil, karena muslim selalu dituntut untuk selalu menghormati umat lain yang
sedang beribadah. Instruksi itu jelas tidak dirasa adil karena beberapa hari
lagi justru muslim lah yang beribadah, kenapa instruksinya tidak diberikan
kepada mereka yang non-muslim???
Jika Lukman Saifuddin mengatakan begitu sebagai ulama
muslim, itu adalah seruan yang baik. Toh kalau godaan dan cobaan berupa makanan
kepada muslim makin banyak, kualitas puasa orang yang mengalahkan godaan itu
tentu jauh lebih utama. Celakanya, Lukman saat ini berposisi sebagai mentri agama.
Artinya, dia pengatur kehidupan bernegara seluruh penganut agama, bukan hanya
Islam. Kalau belakangan banyak muslim bereaksi keras, reaksi itu bukan
dilandaskan rasa ingin dihormati, tapi dilandaskan pada kritikan terhadap
kesalahan ucap seorang pemerintah.
Menag serukan muslim yang berpuasa hormati yang tidak
berpuasa, misal dengan membiarkan mereka yang tidak berpuasa bebas minum es
cendoleo-cendolea di tempat umum saat panas menyiksa kerongkongan orang yang
sedang berpuasa. Kalimat itu sebenarnya sindiran kepada yang tidak berpuasa.
Sindiran sekaligus ejekan. Bagi Mentri Agama, orang yang tidak berpuasa itu
tidak akan mampu menahan makan minum di tempat umum demi menghormati orang lain
yang puasa. Mereka tidak akan mampu minum sembunyi-sembunyi, harus selalu di
ruang terbuka. Maka kita yang berpuasa, berbaik hatilah kepada mereka, biarkan
mereka makan minum dimana saja. Jangan buat hati mereka merasa bersalah karena
harus bertoleransi kepada muslim yang begitu memberatkan mereka. Setidaknya ada pemaknaan seperti itu di pikiran saya saat membaca seruan mentri agama.
Sudah ketangkap kan maksud saya? Digoda makanan seenak apapun, muslim
akan tetap berpuasa. Tapi, ucapan itu salah karena itu ucapan yang menyepelekan
jiwa toleran non muslim. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, seolah memberi penjelasan, bahwa non muslim tidak cukup mampu untuk bertoleransi kepada
yang berpuasa. Maka biarkan kita saja sebagai muslim yang pasti selalu mampu
dan mau bertoleransi kepada yang lain, non muslim tidak perlu bertoleransi
kepada muslim, karena itu tidak akan mampu mereka lakukan.
Nah, berbahaya sekali kan seruan mentri kemarin itu, seruan “agar
muslim menghormati yang tidak berpuasa” itu? Maka muslim Indonesia mestinya
berterima kasih kepada mentri, sudah diberitahu kalau hanya muslim yang mampu
maksimal dalam bertoleransi. Sebaliknya, non muslim yang merasa bisa
menghormati muslim yang berpuasa mestinya marah kepada mentri, masa mau
disepelekan begitu??
Kesimpulannya, menjadi pemerintah di negara yang melindungi
segenap umat beragama itu tidak mudah. Pak Mentri yang baik, bapak mesti lebih
berhati-hati. Satu kalimat saja berbahaya. Muslim yang marah kepada bapak pun
mestinya disikapi dengan husnudzon. Mereka tidak keberatan kalau sekedar harus
menghormati orang lain. Mereka hanya bosan pak. Bosan karena menjadi umat yang selalu
dituntut oleh pemerintah untuk toleran. Tanpa disuruh pun kita sudah lakukan,
pak. Tuntutan serupa kepada non muslim jarang didengar keluar dari mulut
pemerintah. Keberanian itu yang mestinya ditunjukkan pemerintah. Agar adil.
Bahwa mentri agama itu bukan hanya mengatur kehidupan bernegara seorang muslim,
tapi juga mengatur kehidupan bernegara seorang nasrani, umat hindu, budha, dan
yang lainnya. Kalau hanya senang menasihati muslim, jadilah ulama, jangan jadi
mentri agama. Dinasehati yang sama saban hari oleh ulama, kami ikuti. Tapi mentri agama nasehatnya jangan melulu tertuju pada umat salah satu agama. Kerukunan tidak dapat dibentuk dengan sikap satu arah. Maaf kalau ada salah-salah. Semoga Ramadhan tahun ini berlimpah berkah..
------------------------
~ Eki P. Sidik ~
------------------------
0 comments
Posting Komentar