Kalimat “Sunda” dari kitab “Sastrajendra Hayuningrat” dibentuk oleh
tiga suku kata yaitu SU-NA-DA yang artinya adalah “matahari”, yang
mengandung arti “Sejati-Api-Besar” atau “Api Besar yang Sejati atau bisa
juga berarti Api Agung yang Abadi”.
SU-NA-DA
– SU = Sejati/ Abadi
– NA = Api
– DA = Besar/ Gede/ Luas/ Agung
Maksud dan maknanya adalah matahari atau “Sang Surya” ( Panon Poe/
Mata Poe/ Sang Hyang Manon ). Sedangkan kata “Sastrajendra Hayuningrat”
(Su-Astra-Ajian-Ra-Hayu-ning-Ratu) memiliki arti sebagai berikut;
– Su = Sejati/ Abadi
– Astra = Sinar/ Penerang
– Ajian = Ajaran
– Ra = Matahari ( Sunda ), ( Greek ) Mesir
– Hayu = Selamat/ Baik/ Indah
– ning = dari
– Ratu = Penguasa (Maharaja)
Dengan demikian “Sastrajendra Hayuningrat” jika diartikan secara
bebas adalah “Sinar Sejati Ajaran Matahari – Kebaikan dari Sang Ratu”
atau “Penerang yang Abadi Ajaran Matahari – Kebaikan dari Sang Maharaja”
atau boleh jadi maksudnya adalah “Sinar Ajaran Matahari Abadi atas
Kebaikan dari Sang Penguasa/ Ratu/ Maharaja Nusantara”.
“Sunda” menurut saya sama sekali mungkin bukan nama etnis/ ras/ suku
yang tinggal di pulau Jawa bagian barat dan bukan juga nama daerah,
karena sesungguhnya “Sunda” adalah nama ajaran atau kepercayaan /
kebudayaan tertua ( Ancient ), yang keberadaannya jauh sebelum ada jenis
kepercayaan apapun yang dikenal sekarang, terpikir dari cerita cerita
mitos atau legenda pewayangan yang dipelosok dunia ini saya yakin hampir
mirip. Cerita Zeus , Barata Yuda, sampai dengan mitos The Lost
Atlantis.
“Sunda” merupakan cikal-bakal ajaran tentang “cara hidup sebagai
manusia beradab hingga mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (
adi-luhung ). Selain itu Sunda juga yang mengawali lahirnya sistem
pemerintahan dengan pola karatuan ( kerajaan ) yang pertama di dunia,
terkenal dengan konsep SITUMANG ( Rasi-Ratu-Rama-Hyang ) dengan
perlambangan “anjing” ( tanda kesetiaan ).
Ajaran/ kepercayaan Sunda (Matahari) pada mulanya disampaikan oleh
Sang Sri Rama Mahaguru Ratu Rasi Prabhu Shindu La-Hyang / Sang Hyang
Tamblegmeneng ( bapak dari Da Hyang Su-Umbi = Dayang Sumbi ) putra dari
Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manikmaya yang lebih dikenal sebagai
Aji Tirem ( Aki Tirem ) atau Aji Saka Purwawisesa. Inti ajaran Prabhu
Sindhu atau Sintho (di Jepang) dan di India menjadi HINDU (Hindus)
adalah ajaran ‘budhi-pekerti’ dan ketata-negaraan yang disebut sebagai
La-Hyang Salaka Domasdan La-Hyang Salaka Nagara. ( sumber wiki )
Ajaran Sunda lebih dikenal dengan sebutan Sundayana (yana = way of
life, aliran, ajaran, agama) artinya adalah “ajaran Sunda atau
kepercayaan Matahari” yang dianut oleh bangsa Galuh, khususnya di Jawa
Barat.
Sundayana disampaikan secara turun-temurun dan menyebar ke seluruh
dunia melalui para Guru Agung ( Guru Besar/ Batara Guru ), masyarakat
Jawa-Barat lebih mengenalnya dengan sebutan Sang Guru Hyang atau dengan
sebutan “Guriang” yang artinya “Guru Hyang” juga, dari cerita itu ada
sambung menyambung dengan Salaka Domas, Salaka Nagara Kalimasada ( 2
kalimat shadat ), dst… heheh masi di cari juga belon ada di wiki euy..
yu sama sama cari sejarahnya.
Inti dari ajaran Sunda adalah “welas-asih” atau cinta-kasih, dalam
bahasa Arab-nya disebut “rahman-rahim”, sebab adanya rasa welas-asih ini
yang menjadikan seseorang layak disebut sebagai manusia. Artinya, dalam
pandangan kepercayaan Sunda ( bangsa Galuh ) jika seseorang tidak
memiliki rasa welas-asih maka ia tidak layak untuk disebut manusia,
lebih tepatnya sering disebut sebagai Duruwiksa ( Buta ) mahluk biadab.
Sundayana terbagi dalam tiga bidang ajaran dalam satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah ( Kemanunggalan ) yaitu;
Tata-Salira/ Kemanunggalan Diri; berisi tentang pembentukan
kualitas manusia yaitu, meleburkan diri dalam “ketunggalan” agar menjadi
“diri sendiri” (si Swa) yang beradab, merdeka dan berdaulat atau
menjadi seseorang yang tidak tergantung kepada apapun dan siapapun
selain kepada diri sendiri.
Tata-Naga-Ra/ Kemanunggalan Negeri; yaitu memanunggalkan masyarakat/
bangsa (negara) dalam berkehidupan di Bumi secara beradab, merdeka dan
berdaulat. Pembangunan negara yang mandiri, tidak menjajah dan tidak
dijajah.
Tata-Buana/ Kemanunggalan Bumi; ialah kebijakan universal (
kesemestaan ) untuk memanunggalkan Bumi dengan segala isinya dalam
semesta kehidupan agar tercipta kedamaian hidup di Buana.
Sesuai dengan bentuk dan dasar pemikiran ajaran kepercayaan Matahari
sebagai sumber cahaya maka tata perlambangan wilayah di sekitar
Jawa-Barat banyak yang mempergunakan sebutan “Ci” yang artinya “Cahaya”,
dalam bahasa India disebut sebagai deva/ dewa ( cahaya ) yaitu pancaran
( gelombang ) proton yang lahir dari Matahari berupa warna-warna.
Terdapat lima warna cahaya utama ( Pancawarna ) yang menjadi landasan
filosofi kehidupan bangsa Galuh penganut ajaran Sunda :
Cahaya Putih di timur disebut Purwa, tempat Hyang Iswara.
Cahaya Merah di selatan disebut Daksina, tempat Hyang Brahma.
Cahaya Kuning di barat disebut Pasima, tempat Hyang Mahadewa.
Cahaya Hitam di utara disebut Utara, tempat Hyang Wisnu.
Segala Warna Cahaya di pusat disebut Madya, tempat Hyang Siwa.
Lima kualitas “Cahaya” tersebut sesungguhnya merupakan nilai “waktu”
dalam hitungan “wuku”. Kelima wuku (wuku lima) tidak ada yang buruk dan
semuanya baik, namun selama ini Sang Hyang Siwa (pelebur segala cahaya/
warna) telah disalah-artikan menjadi “dewa perusak”, padahal arti kata
“pelebur” itu adalah “pemersatu” atau yang meleburkan atau
memanunggalkan. Jadi, sama sekali tidak terdapat ‘dewa’ yang bersifat
merusak dan menghancurkan. Mungkin nyambung ga ya dari sini juga adanya
perintah Shalat 5 Waktu… mengapa harus 5 ?? ( jangan 100% percaya teliti
ajah sendiri … ini hanya pendapat saya doang ).
“Ajaran Sunda” dalam cerita pewayangan dilambangkan dengan Jamparing
Panah Chakra, yaitu ‘raja segala senjata’ milik Sang Hyang Wisnu yang
dapat mengalahkan sifat jahat dan angkara-murka, tidak ada yang dapat
lolos dari bidikan Jamparing Panah Chakra.
– Jamparing = Jampe Kuring
– Panah = Manah = Hati (Rasa Welas-Asih)
– Chakra atau Cakra = Titik Pusaran yang bersinar / Roda Penggerak Kehidupan (‘matahari’).
– Secara simbolik gendewa (gondewa) merupakan bentuk bibir yang sedang tersenyum.
Panah Chakra di Jawa Barat biasa disebut sebagai “Jamparing Asih”
maksudnya adalah “Ajian Manah nu Welas Asih” ( ajian hati yang lembut
penuh dengan cinta-kasih ). Maksud utama dari Jamparing Panah Chakra
atau Jamparing Asih itu ialah “ucapan yang keluar dari hati yang welas
asih dapat menggerakan roda kehidupan yang bersinar”. Keberadaan Panca
Dewa kelak disilib-silokakan ( dilambangkan ) ke dalam kisah
“pewayangan” dengan tokoh-tokoh baru melalui kisah Ramayana ( Ajaran
Rama ) serta kisah Mahabharata pada tahun +/-1500 SM.
Yudis-ti-Ra, Bi-Ma, Ra-ju-Na, Na-ku-La, dan Sa-Dewa. Kelima cahaya itu
kelak dikenal dengan sebutan “Pandawa” singkatan dari “Panca Dewa” (
Lima Cahaya ) yang merupakan perlambangan atas sifat-sifat kesatria
negara. Istilah “wayang” itu sendiri memiliki arti “bayang-bayang”,
maksudnya adalah perumpamaan dari kelima cahaya tersebut.
Selama ini cerita wayang selalu dianggap ciptaan bangsa India, hal
tersebut mungkin “benar” tetapi boleh jadi “salah”. Artinya kemungkinan
terbesar adalah bangsa India telah berjasa melakukan pencatatan tentang
kejadian besar yang pernah ada di Bumi Nusantara melalui kisah
pewayangan dalam cerita mitos Ramayana dan Mahabharata. Simple logik nya
India dikenal sebagai bangsa Chandra ( Chandra Gupta ) yang berarti
Bulan sedangkan Nusantara dikenal sebagai bangsa Matahari ( Ra-Hyang ),
dalam hal ini tentu Matahari lebih unggul dan lebih utama ketimbang
Bulan. India diterangi atau dipengaruhi oleh ajaran dan kebudayaan
Nusantara. Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa bukti ( jejak )
peninggalan di Bumi Nusantara telah banyak dilupakan, diselewengkan
hingga dimusnahkan oleh bangsa Indonesia sendiri sehingga pada saat ini
kita sulit untuk membuktikannya melalui “kebenaran ilmiah”.
Berkaitan dengan persoalan “Pancawarna”, bagi orang-orang yang lupa
kepada “jati diri” ( sebagai bangsa Matahari ) di masyarakat Jawa-Barat
dikenal peribahasa “teu inget ka Purwa Daksina…!” artinya adalah “lupa
kepada Merah-Putih” ( lupa akan kebangsaan/ tidak tahu diri/ tidak ingat
kepada jati diri sebagai bangsa Galuh penganut ajaran Sunda ).
Banyak orang Jawa Barat mengaku dirinya sebagai orang “Sunda”, mereka
mengagungkan “Sunda” sebagai genetika biologis dan budayanya yang
membanggakan, bahkan secara nyata perilaku diri mereka yang lembut telah
menunjukan kesundaannya ( sopan-santun dan berbudhi ).
Sebagaian Masyarakat Jawa Barat tidak menyadari ( tidak mengetahui )
bahwa perilaku lembut penuh tata-krama sopan-santun dan berbudhi itu
terjadi akibat adanya “ajaran” ( kepercayaan Sunda ) yang mengalir di
dalam darah mereka dan bergerak tanpa disadari. Untuk mengatakan
kejadian tersebut para leluhur menyebutnya,
“nyumput buni di nu caang” ( tersembunyi ditempat yang terang ) artinya
adalah mentalitas, pikiran, perilaku, seni, kebudayaan, filosofi yang
mereka lakukan sesungguhnya adalah hasil didikan kepercayaan Sunda
tetapi si pelaku sendiri tidak mengetahuinya.
Inti pola dasar ajaran Sunda adalah “berbuat baik dan benar yang
dilandasi oleh kelembutan rasa welas-asih”. Pola dasar tersebut
diterapkan melalui Tri-Dharma ( Tiga Kebaikan ) yaitu sebagai pemandu
‘ukuran’ nilai atas keagungan diri seseorang/ derajat manusia diukur
berdasarkan dharma ( kebaikan ).
Dharma Bakti, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi
kebaikan terhadap diri, keluarga serta di lingkungan kecil tempat ia
hidup, manusianya bergelar “Manusia Utama”.
Dharma Suci, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan
terhadap bangsa dan negara, manusianya bergelar “Manusia Unggul
Paripurna” ( menjadi idola ).
Dharma Agung, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan
terhadap segala peri kehidupan baik yang terlihat maupun yang tidak
terlihat, yang tercium, yang tersentuh dan tidak tersentuh, segala
kebaikan yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, manusianya bergelar
“Manusia Adi Luhung” ( Batara Guru ).
Dalam agama Islam bisa jadi arti ini adalah tingkatan dari Syariat,
Tarikat, Hakikat yang jika semua sudah tercapai menjadi Ma’rifat.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Tri-Dharma ini kelak menjadi
pokok ajaran “Budhi-Dharma” ( Buddha ) yang mengutamakan budhi kebaikan
sebagai bukti dan bakti rasa welas-asih terhadap segala kehidupan untuk
mencapai kebahagiaan, atau pembebasan diri dari kesengsaraan.
Ajaran ini kelak dilanjutkan dan dikembangkan oleh salah seorang
tokoh Mahaguru Rasi Shakyamuni – Sidharta Gautama ( ‘Sang Budha’ ),
seorang putra mahkota kerajaan Kapilawastu di Nepal – India.
Pembentukan Tri-Dharma Sunda dilakukan melalui tahapan yang berbeda sesuai dengan tingkatan umurnya yaitu :
Dharma Rasa, ialah mendidik diri untuk dapat memahami “rasa” (
kelembutan ) di dalam segala hal, sehingga mampu menghadirkan keadaan
“ngarasa jeung rumasa” ( menyadari rasa dan memahami perasaan ) /
Empaty. Dengan demikian dalam diri seseorang kelak muncul sifat
menghormati, menghargai, dan kepedulian terhadap sesama serta kemampuan
merasakan yang dirasakan oleh orang lain ( pihak lain ), hal ini
merupakan pola dasar pembentukan sifat “welas-asih” dan manusianya kelak
disebut “Dewa-Sa”.
Dharma Raga, adalah mendidik diri dalam bakti nyata ( bukti ) atau
mempraktekan sifat rasa di dalam hidup sehari-hari ( *bukan teori )
sehingga kelak keberadaan/ kehadiran diri dapat diterima dengan senang
hati ( bahagia ) oleh semua pihak dalam keadaan “ngaraga jeung
ngawaruga” ( menjelma dan menghadirkan ). Hal ini merupakan pola dasar
pembentukan perilaku manusia yang dilandasi oleh kesadaran rasa dan
pikiran. Seseorang yang telah mencapai tingkatan ini disebut “Dewa-Ta”.
Dharma Raja, adalah mendidik diri untuk menghadirkan “Jati Diri” sebagai
manusia “welas-asih” yang seutuhnya dalam segala perilaku kehidupan
“memberi tanpa diberi” atau memberi tanpa menerima ( tidak ada pamrih ).
Tingkatan ini merupakan pencapaian derajat manusia paling terhormat
yang patut dijadikan suri-teladan bagi semua pihak serta layak disebut (
dijadikan ) pemimpin.
Ajaran Sunda berlandas kepada sifat bijak-bajik Matahari yang
menerangi dan membagikan cahaya terhadap segala mahluk di penjuru Bumi
tanpa pilih kasih dan tanpa membeda-bedakan. Matahari telah menjadi
sumber utama yang mengawali kehidupan penuh suka cita, dan tanpa
Matahari segalanya hanyalah kegelapan. Oleh sebab itulah para penganut
ajaran Sunda berkiblat kepada Matahari ( Sang Hyang Tunggal ) sebagai
simbol ketunggalan dan kemanunggalan yang ada di langit.
( Disini adalah benang merah yang kurang cocok dengan Ajaran Islam
dimana kepercayaan Sunda berkesan menyembah Matahari ). Mungkin karena
itu Allah menurunkan Rasul Rasul Nya setelah adanya Kepercayaan Sunda.
Sundayana menyebar ke seluruh dunia, terutama di wilayah Asia, Eropa,
Amerika dan Afrika, sedangkan di Australia tidak terlalu menampak. Oleh
masyarakat Barat melalui masing-masing kecerdasan kode berbahasa mereka
ajaran Matahari ini diabadikan dalam sebutan SUNDAY ( hari Matahari ),
berasal dari kata “Sundayana” dan bangsa Indonesia lebih mengenal Sunday
itu sebagai hari Minggu.
Di wilayah Amerika kebudayaan suku Indian, Maya dan Aztec pun tidak
terlepas dari pemujaan kepada Matahari, demikian pula di wilayah Afrika
dan Asia, singkatnya hampir seluruh bangsa di dunia mengikuti ajaran
leluhur bangsa Galuh Agung ( Nusantara ) yang berlandaskan kepada
tata-perilaku berbudhi dengan rasa “welas-asih” ( cinta-kasih ).
Oleh bangsa Barat ( Eropa dan Amerika ) istilah Sundayana ‘diubah’
menjadi Sunday ( hari matahari ) sedangkan di Nusantara dikenal dengan
sebutan “Surya” yang berasal dari tiga suku kata yaitu Su-Ra-Yana,
bangsa Nusantara memperingatinya dalam upacara “Sura” ( Suro ) yang
intinya bertujuan untuk mengungkapkan rasa menerima-kasih serta ungkapan
rasa syukur atas “kesuburan” negara yang telah memberikan kehidupan
dalam segala bentuk yang menghidupkan baik berupa makanan, udara, air,
api ( kehangatan ), tanah.
Pengertian Surayana pada hakikatnya sama saja dengan Sundayana sebab mengandung maksud dan makna yang sama.
– SU = Sejati
– RA = Sinar/ Maha Cahaya/ Matahari
– YANA = way of life/ ajaran/ ageman/ agama
Maka arti “Surayana” adalah sama dengan “Kepercayaan Matahari yang
Sejati” dan dikemudian hari bangsa Indonesia mengenal dan
mengabadikannya dengan sebutan “Sang Surya” untuk mengganti istilah
“Matahari”.
5000 tahun sebelum penanggalan Masehi di Asia dalam sejarah peradaban
bangsa Mesir kuno menerangkan ( menggambarkan ) tentang keberadaan
ajaran Matahari dari bangsa Galuh, mereka menyebutnya sebagai “RA” yang
artinya adalah Sinar/ Astra/ Matahari/ Sunda.
“RA” digambarkan dalam bentuk “mata” dan diposisikan sebagai
“Penguasa Tertinggi” dari seluruh ‘dewa-dewa’ bangsa Mesir kuno yang
lainnya, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bangsa Mesir kuno-pun
menganut dan mengakui Sundayana ( Kepercayaan Matahari ) yang dibawa dan
diajarkan oleh leluhur bangsa Galuh.
Disisi lain bangsa Indonesia saat ini mengenal bentuk dan istilah
“mata” ( eye ) yang mirip dengan gambaran “AMON-RA” bangsa Mesir kuno,
sebutan “amon” mengingatkan kita kepada istilah “panon” yang berarti
“mata” yang terdapat pada kata “Sang Hyang Manon” yaitu penamaan lain
bagi Matahari di masyarakat Jawa Barat jaman dahulu ( *apakah kata Amon
dan Manon memiliki makna yang sama ? )
Selain di Asia ( Mesir ) bangsa Indian di Amerika-pun sangat memuja
Matahari ( sebagai simbol leluhur, dan mereka menyebut dirinya sebagai
bangsa “kulit merah” ) bahkan masyarakat Inca, Aztec dan Maya di daerah
Amerika latin membangun kuil pemujaan yang khusus ditujukan bagi
Matahari, hingga mereka menggunakan pola penghitungan waktu yang
berlandas pada peredaran Matahari, mirip dengan di Nusantara ( pola
penanggalan Saka = Pilar Utama = Inti / Pusat Peredaran = Matahari ).
Masyarakat suku Inca di Peru ( Amerika Latin ) membangun tempat
pemujaan kepada Matahari di puncak bukit yang disebut Machu Picchu.
Dalam hal ini terlihat jelas bahwa secara umum konsep “meninggikan
dengan pondasi yang kokoh” dalam kaitannya dengan “keagungan“ ( tinggi,
luhur, puncak, maha ) merupakan landas berpikir yang utama kepercayaan
Sunda.
Secara filosofis, pola bentuk ‘bangunan’ menuju puncak meruncing (
gunungan ) itu merupakan perlambangan para Hyang yang ditinggikan atau
diluhurkan, hal inipun merupakan silib-siloka tentang perjalanan manusia
dari “ada” menuju “tiada” ( langit ), dari jelma menjadi manusia utama
hingga kelak menuju puncak kualitas manusia adiluhung ( maha agung ).
Demikian pula yang dilakukan oleh suku Maya di Mexico pada jaman
dahulu, mereka secara khusus membangun tempat pemujaan ( kuil/pura )
kepada Matahari ( Sang Hyang Tunggal ).
Pada jaman dahulu hampir seluruh bangsa di benua Amerika ( penduduk
asli ) memuja kepada Matahari, dan hebatnya hampir semua bangsa
menunjukan hasil kebudayaan yang tinggi. Kemajuan peradaban dalam bidang
arsitektur, cara berpakaian, sistem komunikasi ( baik bentuk lisan,
tulisan, gaya bahasa, serta gambar ), adab upacara, dll. Kemajuan dalam
bidang pertanian dan peternakan tentu saja yang menjadi yang paling
utama, sebab hal tersebut menunjukan kemakmuran masyarakat, artinya
mereka dapat hidup sejahtera tentram dan damai dalam kebersamaan hingga
kelak mampu melahirkan keindahan dan keagungan dalam berkehidupan (
berbudaya ).
Sekitar abad ke XV kebudayaan agung bangsa Amerika latin mengalami
keruntuhan setelah datangnya para missionaris Barat yang membawa misi
Gold, Glory dan Gospel. Tujuan utamanya tentu saja Gold (emas/ kekayaan)
dan Glory (kejayaan/ kemenangan) sedangkan Gospel (agama) hanya
dijadikan sebagai kedok politik agar seolah-olah mereka bertujuan untuk
“memberadabkan” sebuah bangsa.
Propaganda yang mereka beritakan tentang perilaku biadab kepercayaan
Matahari dan kelak dipercaya oleh masyarakat dunia adalah bahwa, “suku
terasing penyembah matahari itu pemakan manusia”, hal ini mirip dengan
yang terjadi di Sumatra Utara serta wilayah lainnya di Indonesia.
Dibalik propaganda tersebut maksud sesungguhnya kedatangan para
‘penyebar agama’ itu adalah perampokan kekayaan alam dan perluasan
wilayah jajahan ( imperialisme ), sebab mustahil bangsa yang sudah
“beragama” harus ‘diagamakan’ kembali dengan ajaran yang tidak berlandas
kepada nilai-nilai kebijakan dan kearifan lokalnya.
Dalam pandangan penganut kepercayaan Sunda ( bangsa Galuh ) yang
dimaksud dengan “peradaban sebuah bangsa ( negara )” tidak diukur
berdasarkan nilai-nilai material yang semu dan dibuat-buat oleh manusia
seperti bangunan megah, emas serta batu permata dan lain sebagainya,
melainkan terciptanya keselarasan hidup bersama alam ( keabadian ).
Prinsip tersebut tentu saja sangat bertolak-belakang dengan
negara-negara lain yang kualitas geografisnya tidak sebaik milik bangsa
beriklim tropis seperti di Nusantara dan negara tropis lainnya. Leluhur
Galuh mengajarkan tentang prinsip kejayaan dan kekayaan sebuah negara
sebagai berikut :
“Gunung kudu pageuh, leuweung kudu hejo, walungan kudu herang, taneuh kudu subur, maka bagja rahayu sakabeh rahayatna”
(Gunung harus kokoh, hutan harus hijau, sungai harus jernih, tanah harus subur, maka tentram damai sentausa semua rakyatnya)
“Gunung teu meunang dirempag, leuweung teu meunang dirusak”
(Gunung tidak boleh dihancurkan, hutan tidak boleh dirusak)
Kuil ( tempat peribadatan ) pemujaan Matahari hampir seluruhnya
dibangun berdasarkan pola bentuk “gunungan” dengan landasan segi empat
yang memuncak menuju satu titik. Boleh jadi hal tersebut berkaitan erat
dengan salah satu pokok ajaran Sunda dalam mencapai puncak kualitas
bangsa ( negara ) seperti Matahari yang bersinar terang, atau sering
disebut sebagai “Opat Ka Lima Pancer” yaitu, empat unsur inti alam (
Api, Udara, Air, Tanah ) yang memancar menjadi “gunung” sebagai sumber
kehidupan mahluk.
Menilik bentuk-bentuk simbolik serta orientasi pemujaannya maka dapat
dipastikan bahwa piramida di wilayah Mesir-pun sesungguhnya merupakan
kuil Matahari ( Sundapura ). Walaupun sebagian ahli sejarah mengatakan
bahwa piramid itu adalah kuburan para raja namun perlu dipahami bahwa
raja-raja Mesir kuno dipercaya sebagai Keturunan Matahari/ Utusan
Matahari/ Titisan Matahari/ ataupun Putra Matahari, dengan demikian
mereka setara dengan “Putra Sunda” ( Utusan Sang Hyang Tunggal ).
Untuk sementara istilah “Putra Sunda” bagi para raja Mesir kuno dan
yang lainnya tentu masih terdengar janggal dan aneh sebab selama ini
sebutan “Sunda” selalu dianggap sebagai suku, ras maupun wilayah kecil
yang ada di pulo Jawa bagian barat saja, istilah “Sunda” seolah tidak
pernah terpahami oleh bangsa Indonesia pun oleh masyarakat Jawa Barat
sendiri.
Tidak diketahui waktunya secara tepat, Sang Narayana Galuh Hyang
Agung ( Galunggung ) mengembangkan dan mengokohkan ajaran Sunda di
Jepang, dengan demikian RA atau Matahari begitu kental dengan kehidupan
masyarakat Jepang, mereka membangun tempat pemujaan bagi Matahari yang
disebut sebagai Kuil Nara ( Na-Ra / Api-Matahari ) dan masyarakat Jepang
dikenal sebagai pemuja Dewi Amate-Ra-Su Omikami yang digambarkan
sebagai wanita bersinar ( Astra / Aster / Astro / Astral / Austra ).
( Huehueuhe disambung sambung Australia -> Austra Mulia ) ????
Tidak hanya itu, penguasa tertinggi “Kaisar Jepang” pun dipercaya
sebagai titisan Matahari atau Putra Matahari ( Tenno ) dengan kata lain
para kaisar Jepang-pun bisa disebut sebagai “Putra Sunda” ( Anak/
Utusan/ Titisan Matahari ) dan hingga saat ini mereka mempergunakan
Matahari sebagai lambang kebangsaan dan kenegaraan yang dihormati oleh
masyarakat dunia.
Dikemudian hari Jepang dikenal sebagai negeri “Matahari Terbit” hal
ini disebabkan karena Jepang mengikuti jejak ajaran leluhur bangsa
Nusantara, hingga pada tahun 1945 ketika pasukan Jepang masuk ke
Indonesia dengan misi “Cahaya Asia” mereka menyebut Indonesia sebagai
“Saudara Tua” untuk kedok politiknya.
Secara mendasar ajaran para leluhur bangsa Galuh dapat diterima di
seluruh bangsa ( negara ) karena mengandung tiga pokok ajaran yang
bersifat universal ( logis dan realistis ), tanpa tekanan dan paksaan
yaitu :
Pembentukan nilai-nilai pribadi manusia (seseorang) sebagai landasan
pokok pembangunan kualitas keberadaban sebuah bangsa ( masyarakat ) yang
didasari oleh nilai-nilai welas-asih ( cinta-kasih ).
Pembangunan kualitas sebuah bangsa menuju kehidupan bernegara yang
adil-makmur-sejahtera dan beradab melalui segala sumber daya bumi ( alam
/ lingkungan ) di wilayah masing-masing yang dikelola secara bijaksana
sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pemeliharaan kualitas alam secara selaras yang kelak menjadi pokok
kekayaan atau sumber daya utama bagi kehidupan yang akan datang pada
sebuah bangsa, dan kelak berlangsung dari generasi ke generasi (
berkelanjutan ).
Demikian ajaran Sunda ( Sundayana / Surayana / Agama Matahari )
menyebar ke seluruh penjuru Bumi dibawa oleh para Guru Hyang memberikan
warna dalam peradaban masyarakat dunia yang diserap dan diungkapkan (
diterjemahkan ) melalui berbagai bentuk tanda berdasarkan pola
kecerdasan masing-masing bangsanya.
Ajaran Sunda menyesuaikan diri dengan letak geografis dan watak
masyarakatnya secara selaras ( harmonis ) maka itu sebabnya bentuk
bangunan suci ( tempat pemujaan ) tidak menunjukan kesamaan disetiap
negara, tergantung kepada potensi alamnya. Namun demikian pola dasar
bangunan dan filosofinya memiliki kandungan makna yang sama, merujuk
kepada bentuk gunungan.
Di Indonesia sendiri simbol “RA” (Matahari/ Sunda) sebagai ‘penguasa’
tertinggi pada jaman dahulu secara nyata teraplikasikan pada berbagai
sisi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Hal itu diungkapkan dalam
bentuk ( rupa ) serta penamaan yang berkaitan dengan istilah “RA” (
Matahari ) sebagai sesuatu yang sifat agung maupun baik, seperti :
Konsep wilayah disebut “Naga-Ra / Nega-Ra”
Lambang negara disebut “Bende-Ra”
Maharaja Nusantara bergelar “Ra-Hyang”
Keluarga Kerajaan bergelar “Ra-Keyan dan Ra-Ha-Dian ( Raden )”.
Konsep ketata-negaraan disebut “Ra-si, Ra-tu, Ra-ma”
Penduduknya disebut “Ra-Hayat” (rakyat).
Nama wilayah disebut “Dirganta-Ra, Swarganta-Ra, Dwipanta-Ra, Nusanta-Ra, Indonesia (?) ”
dan masih banyak lagi, silahkan riset sendiri ya
Kemaharajaan ( Keratuan / Keraton ) Nusantara yang terakhir,
“Majapahit” kependekan dari Maharaja-Pura-Hita ( Tempat Suci Maharaja
yang Makmur-Sejahtera ) dikenal sebagai pusat pemerintahan “Naga-Ra”
yang terletak di Kediri – Jawa Timur sekitar abad XIII ( 13 ) masih
mempergunakan bentuk lambang Matahari, sedangkan dalam panji-panji
kenegaraan lainnya mereka mempergunakan warna “merah dan putih” (
Purwa-Daksina ) yang serupa dengan pataka (‘bendera’) Indonesia saat
ini.
Tidak terlepas dari keberadaan ajaran Sunda ( Matahari ) dimasa lalu
yang kini masih melekat diberbagai bangsa sebagai lambang kenegaraan
ataupun hal-hal lainnya yang telah ber-ubah menjadi legenda dan mitos,
tampaknya bukti terkuat tentang cikal-bakal ( awal ) keberadaan ajaran
Matahari atau kepercayaan “Sunda” itu masih tersisa dengan langgeng di
Bumi Nusantara yang kini telah beralih nama menjadi Indonesia.
Di Jawa Kulon ( Barat ) sebagai wilayah suci tertua ( Mandala Hyang )
tempat bersemayamnya Leluhur Bangsa Matahari ( Pa-Ra-Hyang ) dikenal
dengan kata Parahyangan hingga saat ini masih menyisakan penandanya
sebagai pusat ajaran Sunda ( Matahari ), yaitu dengan ditetapkannya kata
“Tji” ( Ci ) yang artinya CAHAYA di berbagai wilayah seperti Ci Beureum
( Cahaya Merah ), Ci Hideung ( Cahaya Hitam ), Ci Bodas ( Cahaya Putih
), Ci Mandiri ( Cahaya Mandiri ), dan lain sebagainya.
Namun sayang banyak ilmuwan Nusantara khususnya dari Jawa Barat malah
menyatakan bahwa “Ci” adalah “cai” yang diartikan sebagai “air”, padahal
jelas-jelas untuk benda cair itu masyarakat Jawa Barat jaman dulu
secara khusus menyebutnya sebagai “Banyu” dan sebagian lagi menyebutnya
sebagai “Tirta”
(*belum diketahui perbedaan diantara keduanya). Mari kita riset bersama…
sejarah itu emang perlu diketahui biar ga ilang kepada keturunan
keturunan kita kelak.
Sebutan “Ci” yang kelak diartikan sebagai “air” ( cai / nyai )
sesungguhnya berarti “cahaya / kemilau” yang terpantul di permukaan
banyu ( tirta ) akibat pancaran “sinar” ( kemilau ). Masalah “penamaan /
sebutan” seperti ini oleh banyak orang sering dianggap sepele, namun
secara prinsip berdampak besar terhadap “penghapusan” jejak perjalanan
sejarah para leluhur bangsa Galuh Agung pendiri kepercayaan Sunda (
Matahari ). Nah ini dia salah satu case yang dinamakan Distorsi SEJARAH.
Percaya Atau tidak.. ini artikel hanyalah penapsiran sepihak,
selebihnya tergantung si pembaca, ingin tidak nya mempelajari arti
pengetahuan dari sejarah.
Artikel ini semata mata tidak untuk mengajak kita mempercayai dan
menyembah matahari. Simple logic, kepercayaan ini sudah di revisi
melalui Utusan Allah Swt dengan baragam pesan pesan wahyu yang turun ke
Dunia melalui Rasul Rasul Nya.
Maka dari itu apakah kita masih berpaling dari sebuah kebenaran
dengan adanya distorsi sejarah kepercayaan / Religi umat manusia di
dunia ???
Saya yakin dan mutlak, Agama yang terakhir diturunkan oleh Sang
Khaliq adalah agama Islam, yang dalam Kitab nya ( Al-Quran ) Allah
berjanji untuk melindungi / memelihara Ayat ayat Al-Quran tanpa adanya
distorsi sejarah. ( QS:15:9 )
Dari sini mengapa harus 9 -> ini adalah sebuah angka bilangan terakhir bukan ? saya bilang YES !
– Al Hijr Ayat 9 –
innaa nahnu nazzalnaa aldzdzikra wa-innaa lahu lahaafizhuuna
Artinya :
9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya
—
Surah Al-Hijr (bahasa Arab:الحجر, al-Hijr, “Al-Hijr”) adalah surah
ke-15 dalam al-Qur’an. Surah ini terdiri atas 99 ayat dan termasuk
golongan surah-surah Makkiyah. Al-Hijr adalah nama sebuah daerah
pegunungan yang didiami oleh kaum Tsamud pada zaman dahulu yang terletak
di pinggir jalan antara Madinah dan Syam ( Syria ). Nama surah ini
diambil dari nama daerah pegunungan itu, berhubung nasib penduduknya
yaitu kaum Tsamud diceritakan pada ayat 80 sampai dengan 84, mereka
telah dimusnahkan Allah, karena mendustakan Nabi Shaleh dan berpaling
dari ayat-ayat Allah. Dalam surah ini terdapat juga kisah-kisah kaum
yang lain yang telah dibinasakan oleh Allah seperti kaum Luth dan kaum
Syu’aib . Surah ini juga mengandung pesan bahwa orang-orang yang
menentang ajaran rasul-rasul akan mengalami kehancuran.
– http://ahmadsamantho.wordpress.com dan dari berbai sumber
-----------------
artikel nyomot dari http://goo.gl/H3vHmk
-----------------